"Katakan, apa yang harus kulakukan ketika rasa ini sudah tak menemui asa."
🐧
Aku menatap pantulan wajah dari gelapnya kaca meja. Memang seharusnya bukan begini cara bercermin yang benar, tetapi aku terlalu muak dengan wajah kumalku sendiri saat berhadapan dengan cermin kamar mandi. Setidaknya dengan kaca gelap muka jelekku jadi tersamarkan.
Semestinya jika dua orang perempuan saling berhadapan, maka yang akan terdengar adalah obrolan mengenai bagaimana kelanjutan kasus artis yang kemarin muncul di televisi, atau bahan gosip lainnya yang bisa membuat suasana riuh hanya dengan dua mulut perempuan dipagi hari.
Namun apakah hal itu tidak aneh jika kulakukan dengan ibu dalam situasi seperti ini?
Oleh karenanya, yang ada sekarang hanyalah suara sendok dan piring yang saling beradu. Mewaliki seberapa besar rasa amarah bercampur kecewa yang ada di dadaku. Aku sudah tidak perduli jika piring di hadapanku ini akan segera retak bahkan pecah sekalipun.
Tetapi wanita yang menyandang predikat sebagai ibuku ini seolah tidak tertarik dengan usahaku untuk menarik perhatiannya.
Dasar wanita. Memang tidak peka!
Sejujurnya, aku tidak mau bersikap kekanakan seperti ini. Hanya saja, ketika bibirku hendak terbuka, seketika akan terkatup kembali hanya karena adrenalin yang tiba-tiba meningkat. Menyebabkan dada berpacu dalam emosi yang sejujurnya sudah tak kuat kupendam sendiri.
Aku takut akan kelepasan. Berkata kasar, dan menyakiti wanita yang sudah susah apayah melahirkanku ke dunia. Tetapi di lain sisi, aku hanya ingin segera menyelesaikan masalahku dengan ibu. Cuma ingin bertanya, apakah restu memang sudah tidak bisa didapat jika itu bersama mas Lintang?
“Dimakan yang bener, kamu ndak lagi jualan bakso.”
Beliau baru berucap setelah sekian lama diam. Tidak seperti biasa, sekarang ibu bicara sangat lembut.
“Inggih … ibu,” ucapku sedikit menjeda di pertengahan. Melawan perasaan yang sudah mulai bergemuruh sesak.
“Maem sing akeh. Kamu kurusan, padahal baru beberapa minggu yang lalu balik ke Jakarta,” ujarnya seraya menambahkan lauk ikan bandeng di piringku.
“Kamu pasti kemarin juga belum makan malam, toh? Kamu datangnya malam buuaanget,” lanjutnya kali ini sambil tersenyum.
Sementara dalam tunduk, aku sudah berkaca-kaca.
“Inggih, ibu.”
Menjawab seadanya, padahal dalam kepala sudah beribu kalimat untuk diungkapkan bahkan dipertanyakan padanya. Kesana kemari otak berjalan, bagaimana menemukan jalan keluar dari kecanggungan dan menemukan keberanian.
Sayangnya, hingga sesi sarapan usai dan berlanjut dengan acara mencuci piring, aku belum bicara sedikitpun. Lantas melewatkan kehadiran ibu yang sudah mulai sibuk dengan telepon entah dari siapa.
Aku rasa ibu memang sengaja.
Dan tepat setelah gelas terakhir kuletakkan di rak, ibu menghampiri, “Nanti temannya ibu datang.”Mataku mengikuti gerakannya mengelap alat makan yang baru saja kubilas.
“Kamu di rumah saja, ya?”
Aku mengangguk.
“Nanti juga sekalian kenalan sama putranya,” ucapnya tersenyum tanda bersemangat. Dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut. Badanku sukses menghadap beliau.
Begitu ringan ibu bicara tanpa menilik seberapa besar emosi yang kembali meronta keluar.
“Putranya itu anggota Angkatan Udara, loh. Ganteng pula!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Awry [Lengkap]✔️
Romance"Mas, dicariin ibu terus." "Hah?!" "Mas gimana sih! Serius gak sih sebenarnya?!" "Ya serius, dong! Kalo nggak ngapain kita selama ini?!" "Ya makanya cepet nikahin aku! Emang sampean ndak sungkan sama ibu?!" "Tunggu bentar lagi, ya? Ya?" Duh, Gustiii...