Walaupun tak sengaja, tetap saja namanya luka
Selama 27 tahun hidupku, baru pertama kali aku akan menjawab pertanyaan serius dari seorang pria. Bukan sekadar rasa suka, melainkan yang lebih dari itu. Aku tidak paham namanya. Cinta? Sepertinya terlalu dalam mengingat apa tujuannya melamarku. Ya Allah ... bahkan sampai sekarang egoku masih belum bisa menerimanya.
Baiklah, sudah bukan saatnya lagi memikirkan yang sudah masak dipikirkan setelah dengan berani aku menyanggupi permintaan mas Lintang tepat dihadapnnya. Tidak ada perubahan sebenarnya--lebih buruk. Tidak ada restoran, melainkan lobi apartemen. Tidak ada bunga atau semacamnya, selain mas Lintang yang datang dengan tangan kosong.
Aku paham, dia mungkin sangat terburu-buru setelah membaca pesanku, bahkan setelah tanda dua centang biru, hanya ada balasan jika dia sudah sampai di sini dua puluh satu menit kemudian. Bayangkan, mana ada toko bunga yang buka malam-malam begini?
Bisa kurasakan semua bebannya menguap ke awan melalui embusan napas panjangnya.
"Sekar, aku nggak tahu harus ngomong apa selain makasih," ujarnya lalu mengucap hamdalah berkali-kali.
Aku tersenyum, ikut merasakan kelegaannya. Tidak terlalu buruk juga. Hanya gugup diawal saja, selebihnya lebih dari plong.
Kurasakan pipiku menegang sekarang. Padahal tidak ada pembicaraan lagi, ini hanya karena pikiranku yang usil sendiri.
Untunglah para mbak sudah tidak ada di dalam unit. Jika mereka masih ada, entah bagaimana mereka akan berlomba meledekku. Mungkin besok karena aku tidak mungkin menyembunyikan keadaan kami saat ini. Hal wajib lainnya adalah dari restu ibu bapak. Mereka juga harus mengetahuinya.Ngomong-ngomong soal ibu, aku juga merasa lega berkat adanya mas Lintang, aku tidak lagi terganggu oleh teror perjodohan yang direncanakan ibu.
Senyumku semakin lebar mengingatnya. Tetapi tidak lama karena semakin memudar kala aku mengingat sesuatu yang luput dari pertimbanganku belakangan ini.
Mas Davin.
Aku dan dia belum bicara selama ... selama entahlah, aku juga lupa.
Aku merutuk diam-diam. Salahnya yang hilang seperti ditelan bumi. Wajar saja, kan kalau aku lupa akan sosoknya? Jadi bukan aku yang jahat di sini.
"Mas," tegurku, aku juga harus membicarakan ini dengan mas Lintang.
"Ya?" dia masih tersenyum, tanda belum surut kebahagiannya.
Bagaimana, ya cara bilangnya?
"Soal ... mas Davin," bisikku menunduk, namun aku bisa merasakan senyumnya ikut meluntur.
Aku pikir dia tahu maksudku, sebab sudah kukatakan di awal jika aku sedang berada dalam suatu hubungan dengan seseorang.
"Kamu ... masih suka sama Davin?"
Segera kutepis pertanyaan nada meragunya, "aku udah ndak ada perasaan apapun sama dia."
Aku tidak menampik kenyataan jika aku pernah hampir benar-benar menaruh hati pada mas Davin. Memangnya siapa yang bisa menolak orang berkharisma sepertinya? Tetapi lebih dari sekadar itu, aku butuh kepastian. Itu yang dibutuhkan seorang perempuan.
Tetapi di sisi lain, aku juga masih menghargai seberapa lama hubunganku dengan mas Davin. Tujuh tahun bukanlah seperti hari Minggu ke hari Senin.
Semua peristiwa yang kami alami juga tidak bisa dianggap seperti remahan biskuit terakhir. Walaupun banyak hal menjengkelkan darinya, sebenarnya dia adalah orang yang sangat baik.
"Aku nggak bakalan maksa kamu buat pisah sama Davin,"
Perkataannya berhasil membuatku menoleh kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awry [Lengkap]✔️
Romance"Mas, dicariin ibu terus." "Hah?!" "Mas gimana sih! Serius gak sih sebenarnya?!" "Ya serius, dong! Kalo nggak ngapain kita selama ini?!" "Ya makanya cepet nikahin aku! Emang sampean ndak sungkan sama ibu?!" "Tunggu bentar lagi, ya? Ya?" Duh, Gustiii...