Psssttt.. aku punya rahasia. Ini sedikit tentang luka. Yang akan kubagi saat kau siap menerimanya.
🐧
Seumur hidup baru kali ini aku memulai sarapan sesiang ini. Selain karena waktu memasak ibu yang molor, aku juga harus mempersiapkan segala tetek bengek kekuarangan.
Jelas. Harus. Ini agar terlihat sempurna di mata pria di depanku kini. Dia terlihat sagat menikmati makanan di piringnya. Yah, walaupun sebagian besar di sini adalah kreasi ibu, setidaknya aku juga ikut andil dalam menggoreng tempe dan pemubuatan sambalnya.
Hanya sedikit perbincangan yang terjadi di sela-selanya. Memang harusnya saat makan tidak boleh berbicara, tetapi bukankah ini terlalu sepi?
Situasi ini bertahan hingga sarapan usai, tepat saat ibu mendapat telepon dari toko kainnya. Katanya, ada orang yang ingin melamar pekerjaan. Jadi yang tersisa di rumah hanya aku dan mas Lintang sekarang.
Aku sedikit tak enak hati melihatnya membantuku membersihan piring dan yang lainnya. Di mana prinsip tamu adalah raja?
"Udahlah, mas ... aku bisa sendiri," ujarku merebut spon yang sudah berbuih.
"Nggak apa-apa, kan tadi aku juga ikut makan,"
Hah? Apa itu tadi?
"Memang mas pernah makan di warung terus bantu cuci piringnya karena mas ikutan makan?"
Kali ini mas Lintang terihat berpikir. Sesaat kemudian dia mencuci tangan dan kembali menurunkan lengan kemejanya.
"Terus aku ngapain?"
"Ya udah tunggu aja di depan,"
"Nggak boleh di sini?" tawarnya setelah duduk di kursi tempatnya bersantap tadi.
Aku melotot. Oh, big no! Aku tidak ingin menodai image calon istri potensialku dengan kacaunya caraku berkecimpung di dunia perpawonan. Walaupun sekadar cuci piring, kalau aku membuat kesalahan di matanya itu bisa gawat.
"Ndak boleh!" ucapku tegas membuatnya ketakutan dan beringsut mundur.
"Oke ... aku ke depan lagi," ucapnya sebelum benar-benar pergi membiarkanku bersama piring cucian.
Halah, kalau hanya cuci piring itu urusan mudah. Sepuluh menit, semua sudah bersih dan tertata seperti semula.
Sedari kecil aku sudah diajari untuk berurusan dengan pekerjaan rumah tangga. Sempat aku kesal dengan ibu karena tidak mempekerjakan asisten rumah tangga sama sekali, tetapi ternyata ini juga berguna bagi kelangsungan hidup anak rantau sepertiku yang jarang pulang dan tidak punya bujet untuk menyewa jasa pertolongan.
Setelah mengibaskan tangan, bergegas aku menyusul mas Lintang ke ruang tamu. Tidak enak juga tamu kok disuruh menunggu.
Sayup-sayup kudengar dia sedang berbicara lewat ponselnya. Tidak begitu jelas karena aku memang tak berniat untuk mencuri dengar. Sedikit, hanya kata 'insyaAllah' dan berakhir salam. Aku tidak tahu seserius apa teleponnya tadi hingga wajahnya berubah gelisah.
"Maaf, mas lama," ucapku kemudian memosisikan dudukku senyaman mungkin. Sementara dia hanya tersenyum dan melanjutkan kegelisahannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awry [Lengkap]✔️
Romance"Mas, dicariin ibu terus." "Hah?!" "Mas gimana sih! Serius gak sih sebenarnya?!" "Ya serius, dong! Kalo nggak ngapain kita selama ini?!" "Ya makanya cepet nikahin aku! Emang sampean ndak sungkan sama ibu?!" "Tunggu bentar lagi, ya? Ya?" Duh, Gustiii...