Yang kusesali bukan saat kau memilih pergi, tetapi serpihan hati yang selalu menyayat diri sendiri.
🐧
Aku tidak pernah mengira jika dalam perjalanan hidup, aku harus mampir ke dalam fase semenyedihkan ini. Kepalaku mulai pening karena oksigen yang tidak bisa masuk akibat hidung mampet bekas ingus kesedihan semalam.
Ini semakin terlihat menyedihkan saat orang lain menatap sendu padaku. Terlebih mereka bertiga.
Padahal aku suda berjanji untuk berhenti setelah semalaman aku menangis bersama hujan.
Nyatanya saat pagi menjelang, aku tetap pada posisi meringkuk dengan air mata dan ingus yang sudah meleber kemana-mana. hingga mereka datang seperti biasa.
Kehadiran mbak Karin dan mbak Lisa mungkin bisa aku terima, tetapi tidak dengan Rihan.
Jangan ditanya bagaimana syoknya mereka kala melihat aku meringkuk dengan mata menggembung dan sisa-sisa senggukan.
Dan harusnya mereka tahu saat aku sedang mode seperti ini, tak seharusnya mereka bertanya 'kenapa', karena jelas hal itu akan membuat mataku kembali dirundung hujan deras. Tetapi mereka memilih mengabaikan itu.
Di kamarku, kami berdiam bersama setelah mulutku selesai bercerita. Tentu saja tidak dengan mbak Lisa. Usai ceritaku tamat, dia mengambil suara dengan terus mengomel.
"Sialan banget tuh cowok! Dasar orang gila!" umpatnya yang entah sudah kali keberapa sambil terus memunguti tisu yang berserakan.
Dan ya, dalam hati aku ikut merapal beberapa kata kotor untuk mas Li-ah ... kini aku muak barang menyebut namanya.
"Sumpah! Lintang harus diberi pelajaran!"
Ayolah, aku tidak ingin mendengar namanya untuk saat ini. Membuat perkataannya kembali terngiang di telingaku dan menembus mencekik leherku.
Setetes air mata terbuang percuma lagi.
Pelan, mbak Karin mencoba menenangkan dengan menepuk pelan kepalaku yang kupasrahkan di bahunya."Bangsat banget tuh orang. Dia-"
"Lisa! Harus banget ya lo ngoceh pas kaya gini!?" mbak Karin menyela. "bikin tambah pusing tau nggak!?"
Yang diperingati berkacak pinggang, "Ya harus lah! Coba lo banyangin suami lo ninggalin lo dengan alasan yang nggak masuk akal. Hah? Apa katanya? Terlalu sama?!"
Satu isakan kembali lolos dari bibirku.
"Terus kamu, Sekar! Kenapa jadi cewek nggak ada pinter-pinternya sih? Gimana bisa kamu berpikir kalau kalian baik-baik aja setelah dia nggak ada kabar? Seharusnya kamu nggak datang saat dia minta kamu datang!"
"AKU NDAK TAHU! AKU NDAK TAHU!"
Kini mereka yang diam setelah aku menyalurkan rasa frustrasi.
Aku tidak pernah tahu jika kemarin dia memintaku datang hanya untuk berpisah. Aku tidak pernah mengira sikap anehnya akan berujung seperti ini. Dan aku ... ya aku bodoh.
Untuk kesekian kalinya aku menghela napas. Kupandangi mereka satu persatu. Terasa menyedihkan saat mataku bertemu dengan Rihan yang bersedekap di gawang pintu.
Entah apa yang dia pikirkan, tetapi itu membuatku kembali menutup wajahku untuk menangis lebih keras lagi. Rasanya sesak sekali sampai aku tidak bisa berpikir bagaimana cara agar wajahku terangkat kembali.
Aku tidak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang kudengar adalah suara langkah yang perlahan menjauh serta mbak Lisa yang terus memanggil nama Rihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awry [Lengkap]✔️
Romance"Mas, dicariin ibu terus." "Hah?!" "Mas gimana sih! Serius gak sih sebenarnya?!" "Ya serius, dong! Kalo nggak ngapain kita selama ini?!" "Ya makanya cepet nikahin aku! Emang sampean ndak sungkan sama ibu?!" "Tunggu bentar lagi, ya? Ya?" Duh, Gustiii...