Part 16 ~ Teror

474 57 0
                                    

Kita masih belum terlalu jauh, aku akan mengantar jika kamu masih ingin kembali

Kita belum selesai.

Kulempar ponselku ke atas tas di sampingku. Sudah seminggu sejak telepon tak dikenal itu, pun selama itu aku terus mendapat pesan teror yang sama. Terang saja ini membuatku gelisah. Meski sudah jelas siapa pengirimnya, hatiku tudak bisa menolak untuk cemas.

Mas Davin.

Tidak pernah kusangka ternyata dia bandel juga. Berkali-kali aku memblokir nomor-nomor itu, tetapi entah kenapa selalu muncul nomor baru setelahnya. Padahal registrasi dan unregistrasi kartu perdana adalah hal yang terlalu rumit dan termemalaskan yang pernah ada. Aku juga tidak punya pilihan selain bersabar, dengan telaten memblokir nomor-nomor itu sebab urusan bisnisku hanya menggunakan nomorku saat ini.

Ya Tuhan ... apa selama ini aku berpacaran dengan seorang psikopat? Dia benar-benar gila! Aku takut terjadi sesuatu nantinya.

"Ini di mana lagi mas Lintang?!"

Ini lagi, dari tadi aku hanya menggerutu kesal di kursi lobi. Mas Lintang bilang jika dia akan menjemput jam 7 tepat. Tetapi apa? Ini sudah lewat 10 menit dari seharusnya! Aku harap dia tidak lupa jika Kediri itu jauh dari Jakarta.

Aku kembali mengangkat ponsel-mencoba menghubungi mas Lintang lagi. Tersambung memang, tetapi tidak pernah ada jawaban. Saat hendak mematikannya karena kesal, benda ini bergetar singkat. Aku pikir itu mas Lintang yang mengirim pesan.

Jangan pergi sama dia, Sekar ....

Cukup, aku benar-benar takut sekarang.
Dengan tangan bergetar, aku menatap sekitar. Aku pernah membaca, jika seorang psikopat memiliki tindakan di luar nalar. Bisa jadi mas Davin sekarang sedang mengintai di sudut ruangan. Dia tahu kalau aku akan pergi bersama mas Lintang ke Kediri hari ini. Dan ....

"Astaghfirullah ...." bisikku, cemas- menggigiti kuku yang makin bergetar.
Apa jangan-jangan mas Lintang tidak cepat sampai karena dicelakai mas Davin di jalan? Oh, itu drama, tetapi itu bisa jadi, kan?

Aku memukul kepalaku berkali-kali, berharap jika paranoidku tidak menjadi-jadi. Aku merapal doa agar dugaanku hanya sekadar kegilaan dan mas Lintang segera datang dengan keadaan sehat tanpa cacat.

"Kamu kenapa, Kar?"

Aku mendongak. Dan betapa leganya aku bisa melihat mas Lintang tepat di hadapanku dengan fisik yang masih utuh. Aku menghela napas hingga melemas bersandar pada kursi karena kelegaan itu.

"Kamu nggak apa apa?" katanya ikut duduk.

Aku memijit keningku pelan, "ndak apa apa. Ayo berangkat!" Aku berdiri dan membawa barang bawaan.

Mas Lintang memandangku aneh. Terlebih pada ponselku yang tiba-tiba menyala. Tidak usah dicek itu siapa, dari pada aku lemas ketakutan lagi.

Aku sudah berusaha menggenggam erat benda itu agar mas Lintang tidak menyadari getarnya, tetapi sepertinya gagal.

Tetapi aku tetap bertahan dengan senyum sok innocent. Untunglah dia membalas senyumanku, lalu meraih tas punggung di tanganku.

"Biar aku yang bawa," ujarnya terdengar gentle, lalu mendahului.

Ah, semua hal yang dilakukannya berhasil membuatku meleleh bagai air es yang digoreng.

Sementara dia sibuk dengan bagasi, aku mengamati keadaan mobilnya dengan saksama. Berputar mengelilingi roda empat berwarna hitam mengkilapnya. Aku sampai mendendang keempat bannya untuk memastikan kendaraannya dalam kondisi prima dan tanpa sabotase.

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang