Part 18 ~ Oleh-Oleh

433 54 0
                                    

"Jangan biarkan aku jatuh terlalu dalam. Jangan biarkan aku terbang terlalu tinggi. Karena aku tak akan tega menyeretmu ikut tenggelam denganku. Dan mungkin sayapku tak akan mampu membawamu ikut serta bersamaku. Cukup begini saja. Selama itu denganmu, aku tenang"

🐧

Aku baru berpikir kalau pulang kampung saat hari libur mungkin tidak disarankan bagi orang yang ibunya kebelet ingin punya mantu. Selain sumpek ditanya kapan dan kapan, pasti pikiran juga mumet untuk mencari jawaban yang benar dan pantas disampaikan. Dan itu tidak cukup sekadar: iya nanti; bentar aku jelasin.

Tidak!

Saat ingin menjelaskan selalu terpotong dengan ketidak percayaan. Yang bisa diklakukan hanya diam, sabar, dan pasrah. Asal cepat saja.

"Kan ibu udah bilang, kalau mau pulang dibawa calonnya! Ini ndak sama sekali! Mak bedunduk kaya jelangkung, ndak pakai salam nyluuonong ke kamar, ndak bawa oleh-oleh pula! Kamu itu sebenarnya masih hargain ibu ndak sih, Kar?!"

Aku menatap bosan langit-langit yang terkena asap sayur sop ibu. Aku membayangkan asap itu adalah omelan ibu yang menguap ke atas dan akan hilang dengan sendirinya. Tetapi mungkin itu juga bukan analogi yang pas. Jika masakan ibu tercium sangat lezat, namun tidak dengan kalimat-kalimatnya. Terlalu sengak, hanya pedas yang ada.

"Kamu ini diajak ngomong diam aja!"

"Inggih, ibu ...." jawabku seadanya.

"Inggah-inggih-inggah-inggih tok kamu itu!"

Aku semakin cemberut karenanya. Bagai buah simalakama, menjawab kok salah, diam malah dimarahi.

"Lha ibuk maunya pripun, sih? Sekar bingung,"

Ibu sejenak terdiam. Kemudian berbalik, memelotot dengan sendok sayur yang sudah terangkat, "jadi ibu ngomong panjang lebar tadi ndak kamu dengerin?!"

Memilih tidak menanggapi, kulanjutkan saja aktivitas memotong tempe yang kutinggalkan tadi. Meluapkan semua kekesalanku pada segerombolan kedelai tak berdosa.

Aku ini sedang lapar. Sudah jam 9 bukannya memulai sarapan dengan tenang, malah disuguhi obrolan ngegas macam ini.

Salahku juga yang kemarin malam tidak berlaku sebagaimana orang pulang kampung pada umumnya. Ibuku ini maunya diriku mengucap salam, memberi pelukan kangen, dan membawa oleh-oleh yang beliau inginkan. Namun, karena terlalu lelah aku mengabaikan tindak tanduk tersebut dan langsung pergi tidur.

Tetapi mungkin ibu tidak mengerti jika aku tidak mau membangunkannya di tengah malam. Ayolah, aku hanya pulang. Tidak perlu merepotkan orang terlelap di larutnya malam.

"Kalau ibu ngira kamu itu maling terus tak gebukin gimana?!"

"Nggih napa wonten to bu maling bawa kunci rumah sediri?"

Sudah dari subuh ibu mendumel sendiri. Begitu melihatku keluar dari ruang salat, beliau langsung mengahmpiri, lalu mencubit lenganku kecil-kecil. Bahkan ibu tidak memberi perhatian dengan penampilanku yang baru sampai sekarang.

Sepertinya yang buta bukan hanya cinta, tetapi juga kemarahan.

"Sekar! Kamu ndak dengar ada tamu?!"

Aku menatap ibu. Sedikit linglung. Ada tamu?

Kudengar bel berdenting dari luar. Bibirku terangkat kala mengin
gat mas Lintang.

Tunggu dulu. Apa ini tidak terlalu pagi? Tetapi pesan yang baru kuterima semakin membuatku tak karuan.

Assalamu'alaikum Sekar. Kamu ada di rumah? Aku sudah di depan.

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang