Kadar kebucinan semua orang itu berbeda. Ada yang bucin setengah mati, ada juga yang bucin kebawa sampai mati
Sudah lebih dari tiga puluh menit aku duduk sendiri di sini. Selama dua puluh tujuh tahun hidupku, aku tidak pernah merasa se-excited ini dalam hal menunggu. Sumpah, rasanya tidak seperti menunggu antrean kasir minimarket samping apartemen. Ini lebih seperti belenggu benalu rindu yang akan bertemu dengan sang juru. Ya Allah, ini benar-benar berlebihan. Astaghfirullah.Sayangnya aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiannku saat orang yang selama ini kuangan-angan berada di kota yang sama, tidak jauh, sangat dekat dengan tempatku berpijak.
Lintang Satrio Bagaskara.
Setelah percakapan nostalgia lewat video call tadi malam, dia membuat janji bertemu di kafe ini pukul sepuluh tepat. Datang lebih awal, tak lupa dengan sedikit riasan yang jarang sekali kugunakan adalah bekalku hari ini. Kesan yang bagus sangat diperlukan untuk pertemuan perdana kami setelah bertahun lamanya. Aku tidak mau Lintang mengira aku sejenis manusia jam karet yang buruk rupa.
Untuk sampai ke sini aku harus melewati rintangan dan hambatan yang berat. Aku harus melewati mbak Karin dan mbak Lisa yang menembakiku dengan pertanyaan herannya masalah penampilanku.
"Mau COD," hanya itu alasan yang menurutku paling masuk akal saat itu. Tidak mungkin juga kan jika aku berkata to the point? Bertemu Lintang. Hah, mungkin sekarang aku tidak sedang berada di sini.
Aku masih ingat bagaimana mata mbak Karin yang memincing tadi. Ya Allah, sepertinya teori mengenai firasat seorang wanita akan semakin tajam setelah melahirkan adalah benar adanya. Oh, maafkan adikmu, kakak-kakakku. Aku berjanji hanya kali ini aku berbohong pada kalian.
Jujur, aku sangat gugup sekaligus bahagia hari ini. Dan aku benci itu. Pasalnya tingkahku seringkali tidak terkontrol meski di depan umum seperti ini. Kadang jariku mengetuk-ketuk meja untuk mengusir gusar, dan yang paling parah aku tersenyum-senyum sendiri sambil menggigiti kuku jari tanpa sadar. Aku harus berterima kasih kepada orang-orang yang mengira aku tersenyum pada mereka tadi. Mereka membuatku tersadar dan menormalkan ekspresiku lagi.
"Kak? Mungki mau pesan sesuatu dulu?" entah sudah berapa kali pelayan ini menanyaiku hal yang serupa. Kulirik jam di sudut ruangan. Pukul sembilan lima puluh menit.
"Emm ... nanti a-"
"Jasmine tea aja, 2 ya, mbak?" sergap seseorang yang tiba-tiba duduk di depanku. Dia beralih menatapku, "selera kamu masih sama kan?" aku masih melongo hingga pelayan pergi.
"Oh iya, assalamu'alaikum,"
"Hah? Wa'alaikumussalam," alhamdulillah Kau sadarkan aku, Ya Allah.
"Aku kepengennya datang lebih dulu. Eh, kamu udah di sini aja, hahaha...." katanya sambil tertawa ringan. Manis, Ya Allah.
Eh, astaghfirullah....
"Ha? Hahaha...." maksud hati ingin ikut tertawa, tetapi kenapa jadi malah tertawa garing seperti ini?!
Padahal di jalan tadi, aku sudah berlatih dan mempersiapkan banyak pertanyaan agar percakapan kali ini tidak terasa membosankan. Sekarang hilang. Otakku ngeblank.
"Li- eh, itu..." kataku terbata-bata. Aduh ... gimana ya?
"Panggil mas aja gak apa-apa. Lagian aku juga emang lebih tua dari kamu," alhamdulillah, dia spesies manusia peka juga ternyata.
"Eh, ini aku bawain buat mas, hehehe..." untunglah aku ingat kotak lilin di depanku. Dia membuka bungkusannya dan mencium aromanya.
"Hemm ... aku suka wanginya. Makasih ya," katanya tersenyum. Aku hanya menjawab dengan senyuman kaku. Aku pikir lebih baik untuk membatasi ucapanku. Takutnya aku mengucapkan kalimat-kalimat bodoh nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awry [Lengkap]✔️
Roman d'amour"Mas, dicariin ibu terus." "Hah?!" "Mas gimana sih! Serius gak sih sebenarnya?!" "Ya serius, dong! Kalo nggak ngapain kita selama ini?!" "Ya makanya cepet nikahin aku! Emang sampean ndak sungkan sama ibu?!" "Tunggu bentar lagi, ya? Ya?" Duh, Gustiii...