Part 27 ~ Maafkan

643 51 0
                                    

Jika bicara denganmu sudah tak bisa baik-baik dengan bibir, maka aku akan mencoba berbicara melalui hati.

🐧


Aku tidak tahu apa yang sebenarnya sedang kulakukan saat ini. Hanya duduk terdiam di depan televisi yang menyala sambil mengamati semua adegan layar kaca yang sebenarnya tidak kumengerti secara benar. Pikiranku benar-benar sedang sibuk sendiri.

Bapak benar-benar menjemputku kemarin. Hanya selang beberapa menit setelah menerima telpon. Bapak terlihat khawatir saat itu. Melihat putrinya menangis sendiri di halte bus, mungkin membuat dirinya terluka. Mungkin juga sedikit terkejut mengingat kapan terakhir kali bapak melihat putrinya menangis.

Dan karena aku, bapak memutuskan untuk menutup toko hari ini dengan dalih ingin beristirahat, padahal aku tahu sejak aku keluar dari kamar, beliau sudah memperhatikan gerak-gerikku meski berusaha untuk tidak terlalu kentara.
Mungkin beliau tidak ingin mengganggu.

Kukira bapak akan terus berada di dapur, namun tepat saat acara televisi yang tidak kuperhatikan selesai, bapak datang membawa dua cangkir teh di tangannya. Asap yang masih mengepul membuat beliau kepanasan. Aku memperhatikan beliau.

“Lihat apa?” tanyanya setelah meletakkan apa yang beliau bawa lantas ikut duduk di sofa seberang.

Kulihat beliau biasa saja dengan tawa renyahnya melihat serial komedi yang beliau sukai. Padahal sejak subuh menjelang, bapak sudah sibuk sendiri di dapur, mencuci piring hingga mempersiapkan makanan sendiri. Sementara aku, putrinya, yang harusnya menunjukkan bakti dengan meringankan beban dapurnya, hanya diam meratapi hidup bak remaja patah hati. Fakta ini semakin mengiris hatiku mengingat bapak pasti kesulitan sendiri sejak keluarga kami pecah.

Memberanikan diri, aku coba mendekati beliau. Besimpuh dan meletakkan kepala yang terasa berat pada paha kokohnya. Aku bernostalgia, ternyata rasanya masih sama nyamannya saat terakhir aku tertidur di pangkuannya. Ditambah afeksi tangannya yang mendayu lembut mengusap kepalaku. Mataku memejam menikmatinya.

“Bapak, apa bapak ndak pernah merasa kesepian?” tanyaku spontan.

“Hm?” balas bapak yang sebenarnya kutahu beliau sudah mendengar jelas pertanyaanku.

Kini aku menatap bapak, “Kenapa bapak dulu pisah sama ibu?” tanyaku lagi. Entah mengapa pertanyaan yang selama ini terpendam kembali muncul penasaran.

Bapak tidak bisa menyembunyikan raut kagetnya, tatapi masih bisa berdehem agar tidak terlalu terlihat. Sementara aku menatap serius pada bapak untuk menunggu jawaban atas pertanyaan yang kukira wajar ditanyakan setiap anak dengan kondisi semacam diriku.

Maksudku, jika memang ada kebosanan diantara mereka, mengapa mereka berdua tetap memilih hidup sendiri meski sudah menjalani hidup masing-masing? Rasanya tidak adil bagiku yang harus memilih salah satu diantara mereka saat pertama kali aku berhadapan dengan situasi krisis dulu.

“Sekar pengennya jawaban yang seperti apa?” ucapnya masih sempat bergurau. Mencoba mencairkan suasana tegang yangn nyatanya tidak begitu beliau sukai.

Sayangnya, kali ini aku tidak ingin membelokkan pembahasan, “Sekar ingin jawaban yang jujur, pak.”

Bapak berubah menatapku serius sejenak sebelum menghela napas dan mematikan televisi. Beliau meraih kepalaku dan kembali meletakkannya di pahanya, tangan itu juga melanjutkan belaiannya pada kepalaku layaknya orang tua yang akan menceritakan dongeng pengantar tidur pada anaknya.

“Sekar, putri bapak yang paling cantik ….” aku tersenyum mendengar pujiannya, sederhana namun entah mengapa terdengar luar biasa.

“Berapa usia anak bapak sekarang, ya?” aku hendak menjawab tetapi beliau terlanjur teringat sendiri, “oh iya, sudah 28 tahun, ya?”

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang