Dalam soal cinta tidak ada kata terima kasih, yang ada hanyalah sama-sama. Sama-sama menjaga, sama-sama menangis, dan sama-sama bahagia.
"Aku masuk dulu," pamitku setelah tiba di pintu lobi. Pun menjadi kalimat pertamaku sejak perjalanan pulang. Aku sibuk dengan rasa pening yang tiba-tiba menyerang selepas berakhirnya aku dan mas Davin, sedangkan mas Lintang sepertinya juga sungkan untuk bercakap meski sekadar bertanya, 'kamu nggak apa-apa?'.
Cuma mengantarkan pulang. Dan bagus, itu memang yang aku mau.
Mas Lintang tersenyum, aku menganggap dia mempersilahkan.
"Sekar," mas Lintang mencegah sebelum aku benar-benar berbalik.
Ada apa?
"Iya?"
Selangkah dia mencoba mendekat. Menatapku sebentar dengan pandangan ... bersalah. Dia semakin sulit dimengerti saat tangan kanannya yang semula bersembunyi di balik saku perlahan keluar, lalu terangkat ragu. Entah untuk beberapa saat dia berpikir sebelum benar-benar melakukan maksudnya. Tangannya menyentuh pelan lengan kiriku. Rasanya dingin, dan rasa itu semakin merambat ke dalam hati kala jarin lentikya menepuk pelan dua kali.
Hanya beberapa detik sebelum dia menurunkan tangannya. "Maaf," ujarnya. Ini berbeda, tidak ada nada malu-malu kucing. Aku tahu persis permintaan maafnya bukan karena tindakannya barusan.
"Apa aku terlalu maksa kamu?" lanjutnya masih dengan raut bersalah.
Dengan suasana hati yang mellow, membuatku mudah mengerti akan maksud pertanyaannya. Jika dalam keadaan normal, mana bisa aku begini? Mungkin ada faedahnya juga saat aku sendu seperti sekarang, membuatku lebih mudah diajak bicara. Tetapi, ini sekaligus membuatku kesulitan untuk mengungkapkan yang kurasakan.
Tidak ada yang bisa kupikirkan lagi selain ingin menangis. Menangisi betapa sia-sianya hidupku selama ini.
Bayangkan saja, bertahun lamanya diikat oleh tali tak kasat mata dan berakhir baru-baru ini. Kenapa tidak dari dulu?!
Jelas, aku tidak terpaksa atau dipaksa. Aku baru sadar jika ini keinginanku sejak lama, tetapi batin terlalu tak tega untuk menyakiti.
Namun, alih-alih mempermalukan diriku sendiri dengan benar-benar mengeluarkan air mata di hadapnnya sekarang juga, senyum lebarku mencoba mengambil alih, karena aku yakin jika aku bersuara sudah pasti akan terdengar parau.
Mas Lintang membuang napas gusar, "maaf, seharusnya aku nggak terlalu maksa kamu," simpulnya.
Ternyata dia tidak mengerti. Membuatnya bergerak gelisah karena semakin merasa bersalah, padahal sebenarnya dia memberiku jalan keluar dari masalah yang tidak bisa kuselesaikan sendiri.
Kenapa dia tidak berpikir sederhana, seperti 'Ya sudah, ya ... kalau Sekar sama Davin pisah gara-gara aku, ya nggak masalah. Sudah terlanjur. Dan aku siap menjadi pengganti Davin.'
Malaikat tampan nan baik hati yang selalu memprioritaskan perasaan orang lain.
"Kamu pasti capek. Istirahat, ya? Jangan mikir terlalu keras. Aku pergi-"
"Mas," cegahku dan tidak sadar mengait kelingkinnya, membuatnya kaget hingga memelototi apa yang terjadi di tangannya.
Cepat aku melepasnya. Ah, aku malu sekali! Tetapi, salahnya sendiri pamit terburu-buru seperti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awry [Lengkap]✔️
Romance"Mas, dicariin ibu terus." "Hah?!" "Mas gimana sih! Serius gak sih sebenarnya?!" "Ya serius, dong! Kalo nggak ngapain kita selama ini?!" "Ya makanya cepet nikahin aku! Emang sampean ndak sungkan sama ibu?!" "Tunggu bentar lagi, ya? Ya?" Duh, Gustiii...