Dia diam. Seolah dia baik-baik saja. Sangat pandai menyembunyikan sebilah pedang untuk menggores dada. Tanpa ia sadari akan menimbulkan luka.🐧
"Kayaknya tadi pagi udah ngirim paket orderan?" seseorang mencegah sebelum aku meraih gagang pintu.
Bak maling yang tertangkap basah, aku menoleh dengan pipi merona, "eh, mbak Karin belum pulang?"
Aku lupa jika masih ada orang lain di sini.
Mengabaikan pertanyaanku, mbak Karin justru lebih tertarik dengan penampilanku. Mata elangnya meneliti dari atas sampai bawah. Itu dilakukannya berkali-kali sambil menepuk pantat putrinya yang tidur dengan ekspresi yang menggemaskan.
Dia benar-benar emak-emak sejati.
"Mau kemana? Apaan, nih?"
Aku mundur selangkah saat satu tangannya mencoba meraih tas yang kubawa. Melihat reaksiku, dia berhenti.
"Itu ... mau ke ...." aduh, bingung juga mau mencari alasan.
Mbak Karin menghela napas, "Kalau mau ketemu Lintang bilang aja. Kenapa sih ngumpet-ngumpet?"
Iya juga, ya? Kenapa aku harus sembunyi-sembunyi macam orang baru mencuri barang di supermarket?
Aku menyengir, sementara mbak Karin tersenyum menggoda.
"Baunya enak, semoga Lintang suka," lanjutnya. Aku kembali merona.
Aku pun berharap demikian. Setelah mendapat pesan dari mas Lintang jika dia sudah berada di Jakarta dan ingin bertemu siang ini, tanpa pikir panjang aku menyanggupinya. Mungkin akan lebih mengesankan jika aku membawakan makan siang untuknya. Yah ... hitung-hitung sebagai latihan.
Aku hampir berpikir negatif pada mas Lintang sebab pengaruh omongan mbak Lisa waktu itu. Namun sekarang aku bisa bernapas lega karena memang tidak terjadi apa-apa atau perubahan apa-apa di antara kami. Jika pun memang iya, mungkinkah mas Lintang akan langsung menghubungiku hingga mengajak bertemu?
Karena sudah terlanjur menahan rindu, aku ingin bergegas pergi sebelum jam makan siang habis. Sebelum itu, aku berpesan pada mbak Karin untuk mengunci pintu saat dia akan pulang. Karena aku tidak mungkin untuk tidak lama.
Dan bagai ibu yang melepas putrinya untuk pertama kali keluar, mbak Karin berpesan ini dan itu serta membetulkan hijabku.
Aku melangkah keluar sambil terus tersenyum menahan malu yang entah datangnya dari mana. Ternyata begini rasanya bersikap perhatian terhadap seseorang. Semoga orang-orang tidak mengira aku gila.
Oh, perasaan ini benar-benar diluar kendaliku.
_________
Motor kesayanganku hampir menabrak satu mobil mengkilap yang terpakir cantik di depan sebuah ruko.
Masih dengan napas memburu, aku mengucap syukur karena Allah segera menyadarkanku tepat beberapa senti sebelum aku benar-benar menubruk mobil itu dan harus mengganti uang ganti rugi yang mungkin tidak sedikit. Yang benar saja, uang dari mana?!
Sial! Jatuh kerinduan memiliki efek yang tidak main-main.
Setelah kurasa baik-baik saja, aku kembali meneliti lokasi di mana aku sekarang. Tepat di depan jalan raya, toko mebel besar dengan pohon palem di salah satu sudutnya. Aku kira ini sudah benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awry [Lengkap]✔️
عاطفية"Mas, dicariin ibu terus." "Hah?!" "Mas gimana sih! Serius gak sih sebenarnya?!" "Ya serius, dong! Kalo nggak ngapain kita selama ini?!" "Ya makanya cepet nikahin aku! Emang sampean ndak sungkan sama ibu?!" "Tunggu bentar lagi, ya? Ya?" Duh, Gustiii...