B A T A S || 24

1.3K 204 6
                                    


     ADA batasan yang ditetapkan oleh setiap manusia ketika dirinya berinteraksi dengan manusia lain. Batas antara teman biasa berbeda dengan teman dekat, teman dekat berbeda dengan sahabat, sahabat berbeda dengan pacar, pacar berbeda dengan keluarga, dan sebagainya.

     Aga mengetahui batasan-batasan itu dan berusaha menghargainya, namun semuanya hancur karena ego-nya sendiri. Jauh di dalam dirinya, dia tahu kalau dia ingin menghilangkan batas antara dirinya dengan Ave. Meski tak terlihat, namun sekat tipis itu selalu ada. Hanya saja dia tidak tahu cara yang baik untuk melewati batas itu, kini dia berhasil membobolnya namun jembatan hubungan mereka telah runtuh.

     Aga melepas sarung tinjunya lalu melempar ke sembarang arah. Dia sudah menghabiskan waktu seharian di gym dan menghajar samsak besar di hadapannya terus menerus. Aga mengacak rambutnya sembari memejamkan mata lelah.

     Tetesan air mengenai wajahnya. Aga membuka mata dan melihat sebotol air dingin tepat beberapa senti di atas wajahnya. Spontan, Aga mengambil botol minuman itu dan tampak Chan tengah berdiri di depannya, cowok itu mengenakan singlet putih yang sudah dibasahi keringat. Sepertinya dia juga baru selesai nge-gym.

     "Mau ngobrol?" tawar Chan. Aga menatap Chan sejenak sebelum mengangguk. Dia menerima uluran tangan cowok itu dan berjalan beriringan menuju area kafetaria yang berada di dalam gedung gym.

     Keduanya duduk berhadapan. Chan memperhatikan Aga dengan seksama, lalu memulai pembicaraan, "Gue sudah lama nggak lihat lo boxing."

     "Gue nggak boxing. Gue hajar samsak."

     Chan membenarkan dalam hati, namun dia tetap bertanya, "Lo lagi ada masalah sama keluarga lo?"

     "Ngapain gue lukain tangan gue cuma gara-gara bokap," Aga mengepalkan tangannya, tampak ruas-ruas jarinya telah lecet, bahkan beberapa berdarah.

     "Ave?" Kali ini Aga tidak menjawab, namun Chan tahu kalau tebakannya benar. "Kenapa lagi? Lo berantem lagi sama dia gara-gara Atlas?" Melihat Aga yang tetap diam, Chan melanjutkan cerocosannya, "Lo pasti provokasi dia lagi 'kan? Lo..."

     "Gue nyium Ave."

     "HAH?" Chan mematung beberapa saat, lalu memajukan wajahnya beberapa senti mendekat. "Kok..."

     "Gue ngikutin saran lo. Gue kasih tahu dia kalau gue suka sama dia."

     "Terus gimana?"

     "Menurut lo?" tanya Aga balik.

     Kedua alis Chan bertaut, wajahnya tampak berpikir keras. "Kalau dia juga bilang suka sama lo, nggak mungkin lo kayak orang frustasi disini jadi..." Chan memelankan suaranya, "ditolak?"

     "Pertemanan kita sudah selesai."

     "Pasti gara-gara lo main sosor saja. Ave bukan tipikal cewek yang mau dicium sembarangan. Parah sih lo."

     "Gue kebawa emosi."

     "Emosi kenapa? Lo cerita yang lengkap kek, jangan sepotong-potong gitu, gue 'kan jadi bingung," keluh Chan.

     Aga mengatur napas dalam-dalam, andai Chan bukan temannya, dia ingin sekali menempeleng kepala cowok itu namun karena dia tahu niat Chan baik, Aga tidak tega mengomelinya. "Intinya setelah salah paham Ave soal gue dipeluk itu, dia minta ketemu sama gue, gue kira dia sudah selesai marahnya tapi ternyata dia minta gue sama dia berhenti berteman. Gue kesal dan akhirnya kebawa emosi buat nyium dia dan kasih tahu dia soal perasaan gue selama ini. Dia nggak percaya terus..."

     "Terus...?"

     Aga tampak ragu, namun dia memilih meneruskan, "Ave ngungkit soal masa lalu kita. Dan... gue merasa gue jadi cowok paling brengsek di dunia."

     "Lo 'kan memang brengsek," menyadari tatapan tajam Aga, Chan segera meralat, "kita, maksudnya. Kita memang brengsek." Chan memainkan kotak tisu yang berada di atas meja kafetaria dengan memutar-mutarnya. "Perasaan lo sendiri gimana habis jujur ke Ave?"

     "Gue nggak tahu," aku Aga. "Gue merasa lega, sedih, kecewa, marah, frustasi... semuanya digabung jadi satu dan sekarang gue malah ngerasa hampa."

     "Lo pernah minta maaf ke Ave?" Aga tertegun, perlahan dia menggelengkan kepalanya. Chan kembali menghela napas panjang, "Coba deh redamin dulu emosi dan tahan sedikit ego lo. Lo sudah banyak banget lho nyakitin dia. Gimana dia nggak percaya dengan track record lo kayak gitu? Coba jelasin baik-baik. Lo mau persahabatan lo sama dia berakhir kayak gini?"

     "Lebih baik berakhir kayak gini daripada berakhir sesuai keinginan Ave," ujar Aga dingin.

     "Lo nggak terima 'kan soal dia ngajak kalian berhenti berteman? Terus lo juga mau nyakitin Ave dengan cara kayak gini? Lo sadar nggak sih ini tuh cuma nyakitin kalian berdua? Ego lo yang super gede dan Ave yang berpendirian teguh sama prinsipnya. Kalian bisa nyelesaiin masalah ini tapi kalian sama-sama milih menghindar dan buat masalah baru."

     Aga bergeming, memilih tidak peduli dengan nasehat Chan. Chan menggelengkan kepalanya kesal. "Gue bingung sama kalian. Ya udah, kalau lo memang milih berakhir kayak gini, jangan bersikap lo paling ngenes sedunia Ga. Karena ini pilihan lo. Lo punya banyak pilihan lain tapi milih pilihan ini, jadi jangan bersikap seolah-olah semesta bersikap kejam ke lo."

     "Gue nggak minta lo ngasihanin gue. Lo yang ngajak gue ngobrol 'kan?"

     Chan menahan kertakan giginya. Sabar Chan, sabar, ini temen lo sendiri, sugestinya dalam hati.

     "Lo tahu 'kan Ga kalau lo bersikap kayak gini, lo bakal sendirian? Jangan pernah bersikap yang buat orang terpaksa menjauh dari lo saat lo terpuruk kayak gini."

     "Gue nggak terpuruk Chan. Kayak yang lo bilang, ini keputusan gue dan gue yang harus nanggung ini. Ya 'kan?" Muncul urat-urat tipis di leher Aga yang menandakan emosi di dalam dirinya. "Gue lagi nggak mood dengar ceramah lo, kalau lo sudah selesai ngomong, sana pulang."

     Chan mengangkat bahu pasrah dan bangkit dari tempat duduknya. Berbicara dengan Aga yang masih diliputi emosi tidak akan membawa hasil yang baik. "Oke, gue balik dulu. Lo juga jangan balik kemaleman." Dia mencengkram bahu Aga singkat, lalu meninggalkan Aga sendirian.

     Aga menyandarkan punggungnya ke kursi sembari memandangi area kafetaria yang agak sepi. Tampak beberapa orang berlalu lalang entah dengan teman atau kekasihnya. Perlahan perasaan sepi menyusup ke dalam hati Aga. Dia tidak bisa mengingkari kalau dia kesepian tanpa Ave.

     Tapi Ave memutuskan meninggalkannya. Apa yang bisa Aga lakukan? Andai saja dulu dia tidak membuat janji konyol itu, apa semuanya akan jauh lebih baik? Atau justru lebih parah? Aga memejamkan matanya lelah. Dia tidak tahu. Dia hanya bisa berandai-andai namun apapun yang ada di pikirannya tidak bisa mengubah kenyataan kalau dia sudah benar-benar sendirian tanpa Ave di sampingnya.

BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang