B A T A S | | 39

2.1K 186 3
                                    


     WAKTU berlalu sangat cepat. Semua media yang awalnya menyorot keluarga Soedjono beralih menyorot keluarga lain. Kehidupan di kampus pun kembali seperti biasa, orang-orang tidak ada yang membicarakan kasus Aga lagi. Semua berjalan seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang berubah. Namun tetap saja, Ave merasakan perbedaan di hidupnya.

     Tidak ada lagi banner besar dengan wajah Aga yang dipasang di baliho depan kampus. Tidak ada lagi Aga yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Tidak ada lagi Aga yang sibuk tebar pesona di lorong kampus. Tidak ada lagi suara tawa Aga. Tidak ada lagi senyuman Aga. Semuanya lenyap. Menyisakan sepi di relung hati Ave.

     Ave berusaha menjalani hidupnya seperti biasa dan menyelesaikan ujian akhir semesternya. Dia masih bisa tertawa mendengar lelucon Abel. Dia masih bisa bertengkar dengan Dio. Dia masih bisa berbincang dengan Aga lewat telepon. Namun tetap saja, semuanya terasa berbeda.

     Ave keluar dari ruang ujian dan melihat Abel yang duduk di depan ruang kelas dengan ponsel di tangannya. "Lho belom pulang Bel?" Ave bertanya.

     Abel menyimpan ponselnya dalam tas. "Lo jangan ngelak lagi deh dari gue. Lo nggak baik-baik saja 'kan?"

     Ave berjalan menjauh, menghindar pertanyaan Abel namun Abel menahannya. "Ini pasti ada hubungannya sama Aga 'kan? Jangan sok kuat deh Ve. Gue sebel banget lihat lo kayak gini." Tanpa menunggu balasan Ave, Abel sudah menarik Ave ke dalam pelukannya.

     Air mata Ave lolos begitu saja seiring dengan tepukan lembut Abel pada punggungnya.

     "Gue kangen Aga, Bel..."

     "Gue ngerti... Kapan dia pergi?" Abel tahu berita Aga akan pergi ke Kalimantan dari berita yang tersebar. Ave kira itu rahasia namun ternyata perwakilan Soedjono Group yang memberikan pernyataan ke media, itu sebabnya mereka tidak lagi mencecar Aga.

     "Malam ini."

     Abel menarik napas panjang. "Lo bakal anter dia ke bandara?"

     Ave mengangguk.

     "Lo pasti bisa. Cuma dua tahun kok. Meski kelihatan lama banget, sebenarnya itu sebentar. You will be fine."

     "Gue takut semuanya bakal berubah Bel. Gue nyesel selama ini nggak bisa lebih baik ke Aga. Gue benar-benar sahabat yang buruk 'kan?"

     Abel menggeleng. "Nggak. Lo sahabat yang baik buat Aga. Lo juga sahabat terbaik gue. Jangan takut, jarak nggak bisa ngubah apapun. Selama hati kalian buat satu sama lain, nggak bakal ada yang berubah. Justru dengan Aga pergi kayak gini, gue rasa itu bagus buat dia biar dia bisa jadi jauh lebih dewasa dan bertanggung jawab sama pilihan hidupnya. Jangan terlalu khawatir, oke?"

     Ave menatap Abel nanar sembari mengangguk. "Makasih Bel."

- B A T A S -

     Aga memasukkan tangannya ke dalam hoodie sembari menunggu Ave datang. Berkali-kali dia memperhatikan jam tangannya, namun gadis itu tidak muncul juga. Mario melihat kegelisahan adiknya. Dia berjalan mendekat sembari tersenyum.

     "Nungguin Ave?"

     Aga mengangguk. "Katanya dia mau datang ke sini."

     "Tenang saja. Flight lo 'kan masih lama." Mario menenangkan. Aga hanya tersenyum tipis.

     "Ave pasti dateng. Dia 'kan sudah janji bakal dateng. Dia bukan tipikal orang yang ingkar janji kayak lo," ucap Mario enteng.

     Aga menyengir kecil. "Lo benar. Tapi tetap saja gue takut kalau nggak bisa lihat dia buat yang terakhir kalinya."

BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang