B A T A S || 23

1.2K 195 3
                                    


     TIDAK ada sepatah kata pun yang bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan Ave saat ini. Rasanya hatinya sudah mati dan dia tidak bisa merasakan apa-apa. Ave menghentikan langkahnya dan duduk di bangku taman, ia memandangi langit yang perlahan muram seiring suasana hatinya. Ave memejamkan matanya dan mengingat masa-masa dirinya baru memasuki jenjang SMA.

     Sejak SMP Ave tidak memiliki banyak teman, terlebih ketika dia bersahabat dengan Aga. Ave selalu menjadi bahan gunjingan teman-teman sebayanya. Ave tahu mereka melakukan itu karena iri tidak bisa dekat dengan Aga. Teman-temannya yang perempuan iri karena Ave bisa dekat dengan cowok seganteng Aga, sementara teman-temannya yang laki-laki iri karena Ave bisa dekat dengan Aga yang notabene anak orang kaya.

     Ave ingat Aga pernah bilang ke dia, "Gue senang berteman sama lo Ve karena lo nggak pernah mandang gue dari status atau muka gue doang. Lo memang tulus mau berteman sama siapa saja. Gue capek sama orang-orang yang deketin gue karena gue menyandang nama Soedjono atau karena muka gue yang enak dilihat."

     Dan Ave tahu apa yang dikatakan Aga benar adanya. Dia bertemu dengan banyak orang yang berpura-pura baik di depannya supaya bisa dekat dengan Aga juga. Dia yang hanya teman Aga saja sudah menerima perlakuan seperti itu, bagaimana dengan Aga sendiri? Saat itu Ave merasa kasihan dan bertekad akan terus berada di sisi Aga. Meski kadang Aga bersikap menyebalkan, Ave tahu kalau cowok itu sebenarnya baik dan menyayanginya.

     Hingga akhirnya di tahun terakhir mereka saat berada di bangku SMP, Ave mendengar hal yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

     "Sebenarnya..." Aga menggaruk tengkuknya. Ia masih ingat bagaimana leceknya seragam cowok itu, gesper yang entah hilang kemana, dan sepatu yang kotor akibat bermain futsal. "Gue suka sama lo Ve."

     Bohong kalau saat itu jantung Ave berdegup tidak karuan. Bohong kalau saat itu rona merah tidak muncul di kedua pipi Ave. Bohong kalau saat itu Ave merasa ada sedikit perasaan senang yang membuncah di dalam hatinya apalagi dia masih bocah yang mengalami masa pubertas.

     "Gue... juga suka sama lo sebenarnya," akunya dengan cepat.

     Senyum di wajah Aga mengembang mendengar perkataan Ave. Ia berusaha menahan senyumnya, namun Ave ingat bagaimana indahnya senyum Aga saat itu. Senyum bahagia yang jarang sekali dia lihat karena Aga lebih suka memasang senyum cengengesan.

     "Kita harus satu SMA ya? Janji?" Aga mengulurkan kelingkingnya yang disambut antusias oleh Ave.

     "Janji."

     "Apapun yang terjadi kita nggak boleh pisah ya Ve. "

     Mereka berdua masuk ke SMA yang sama dan salah satu SMA swasta unggulan di Jakarta. Ave sendiri tidak terlalu pintar, dia harus berjuang keras supaya bisa diterima dan mendapat beasiswa. Semuanya baik-baik saja namun Ave merasa ada yang janggal.

     Popularitas Aga meroket drastis selama di SMA. Dia menjadi bahan pembicaraan semua orang mulai dari guru, teman seangkatan, kakak kelas, alumni, hingga abang ojek pangkalan. Dia juga menjadi jauh lebih supel dan mudah didekati banyak perempuan yang jelas membuat Ave cemburu. Tapi Ave tidak berani mengutarakan kecemburuannya, dia tahu meski perasaan mereka sama-sama saling suka, Aga tidak pernah meminta Ave jadi pacarnya. Ave sendiri gengsi kalau harus mengajak Aga pacaran duluan.

     Melihat Aga yang tak kunjung memberinya kepastian, akhirnya Ave memberanikan diri menanyakan kejelasan hubungan mereka ke Aga. Hari itu adalah hari yang cukup terik, keringat membasahi pelipis Ave saat dirinya menunggu Aga selesai bermain futsal di pinggir lapangan. Ia bisa melihat wajah Aga yang tidak nyaman ketika menemuinya. Lagi-lagi Ave menahan seluruh pertanyaannya dalam hati.

     "Kenapa Ve?"

     "Nih minum dulu. Capek 'kan habis futsal?"

     Aga tersenyum, lalu meraih sebotol air mineral itu. "Thanks." Ia menandaskan isinya di bawah pengamatan Ave.

     "Ga, gue mau minta maaf sebelumnya."

     Aga menatap Ave bingung sembari memutar tutup botol. "Minta maaf kenapa?"

     "Gue mau nanya," Ave menggigit bibir bawahnya sejenak, "sebenarnya... hubungan kita tuh apa ya?"

     Ada jeda yang cukup lama. Ave tidak berani menatap Aga, dia tidak mau tahu apa yang dipikirkan Aga saat ini.

     "Sahabat. Memangnya mau apa lagi?"

     DEG. Jantung Ave seakan berhenti sesaat sebelum kembali memompa darah ke sekujur tubuhnya. Tubuhnya mendadak menggigil kedinginan. Rasanya harga diri Ave hancur, dia malu sekali. Dia ingin memiliki kemampuan menghilang, namun sayangnya dia hanya manusia tanpa kekuatan khusus jadi mau tidak mau ia harus bisa memasang wajah lempeng dan menekan perasaan malunya.

     "Tapi bukannya dulu lo pernah bilang..."

     "Iya," Aga menyela secepat kilat. "Gue memang suka sama lo Ve," Aga mengambil jeda sejenak. "Tapi cuma sebatas sahabat. Dan sampai selamanya pun seperti itu. Jadi jangan pernah berharap lebih ke gue, ya."

     Perkataan Aga layaknya tamparan keras buat Ave. Ave bisa merasakan matanya panas. Dia berupaya sekuat tenaga menahan agar air matanya tidak tumpah. "Oh gitu." Hanya itu perkataan yang mampu Ave ucapkan. Ia tidak peduli kalau Aga menyadari suaranya sudah berubah menjadi parau atau tidak, dia segera memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan Aga.

     Ada sedikit rasa berharap di dalam hati agar Aga mengejarnya, namun cowok itu tidak mengejarnya, bahkan sepatah kata maaf pun tidak pernah terucap.

     Hari itu Ave benar-benar hancur. Sahabat sekaligus cinta pertama melukai hatinya. Seharusnya dia memang tidak usah mengutarakan perasaannya itu, toh hanya sakit hati yang akan dia dapatkan. Aga dan Ave bagaikan langit dan bumi. Aga yang serba sempurna dan Ave yang serba biasa. Mana mungkin Aga menyukai Ave layaknya seorang laki-laki mencintai perempuannya? Aga hanya menganggap Ave sahabat. Tidak lebih.

     Namun perkataan ambigu Aga saat kelas 9 dahulu membuat hati kecil Ave berharap lebih. Dan harapan itu lah yang melukainya. Termasuk merapuhkan kepercayaan Ave ke Aga. Sejak saat itu, Ave memang berusaha biasa saja. Berusaha tidak terluka. Berusaha seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun di dalam hatinya dia sudah bertekad, apapun yang terjadi dia tidak akan jatuh cinta kepada Aga untuk kedua kalinya. Sudah cukup terluka sekali, ia tidak mau terluka untuk kedua kalinya.

     Ave membuka matanya ketika tetesan air hujan mengenai wajahnya. Ia segera mencari tempat untuk berteduh. Tetesan air hujan yang semakin deras membasahi bumi membuat suasana hati Ave semakin buruk. Dia benci hujan. Karena hujan akan mengingatkannya dengan Aga.

     Ave mengulurkan tangannya, membiarkan air hujan membasahi telapaknya. Ia bergumam pelan, "Kenapa sih hal-hal kecil kayak gini selalu ngingetin gue ke lo, Ga?"

     "Gue senang bisa jadi satu-satunya cewek yang paling dekat sama lo. Gue senang bisa jadi sahabat tempat lo mengadu duka. Gue senang bisa punya lo di hidup gue, tapi selain mendatangkan kebahagiaan, lo juga selalu membawa luka di hati gue." Ave berupaya mencengkram air yang turun, namun air itu berhasil lolos dari sela-sela jemarinya. "Sama seperti hujan yang membawa berkah bagi sebagian orang, kadang ia datang juga membawa musibah bagi yang lain. Lo selalu jadi hujan dan pelangi di hidup gue."

     Ave menarik napas panjang. "Tapi ini saatnya gue melihat matahari yang bersinar terang bukan? Gue nggak bisa terus menerus membiarkan lo membawa badai ke hidup gue meski akhirnya lo bakal ngasih gue pelangi." Lalu, ia mengibaskan tangannya dan kembali memeluk dirinya sendiri.


BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang