B A T A S | | 33

1.3K 180 20
                                    


     WARTAWAN masih mengerubungi pintu gerbang USEA untuk berbicara dengan rektor perihal status mahasiswa Aga dan Face of University. Satpam sudah berkali-kali menghalau awak media dan mengusir mereka, namun para wartawan tersebut tetap keukeuh menunggu di depan pintu gerbang. Ave melihat pemandangan tersebut dengan jijik, bagaimana bisa para wartawan tersebut tidak punya hati? Apa mereka tidak memikirkan bagaimana kondisi psikis Aga? Padahal Veron telah memberikan pernyataan minta maaf secara terbuka dan mengakui kelalaiannya tapi para wartawan terus merongrong Aga dan menyudutkan dia demi clickbait.

     Abel datang menghampiri Ave dengan laptop di dalam pelukannya sementara tangannya yang lain membawa segelas latte. "Lo lagi badmood Ve?" tanyanya sembari meletakkan barang bawaannya di meja tempat Ave duduk.

     "Gue merasa terganggu saja sama wartawan-wartawan yang ngerubunin di depan pintu gerbang. Kayak nggak ada kerjaan lain saja."

     "Ya kerjaan mereka 'kan memang kayak gitu."

     "Ganggu ketenangan orang lain?"

     Abel menghela napas pendek. "Ya enggak lah! Memang mereka mau bikin berita saja! Cari bahan sensasional biar tulisan mereka banyak dibaca orang."

     "Mereka nggak seharusnya nyari uang dengan cara kayak gitu." Ave tidak bisa menahan dengusannya sendiri. Abel hanya menyeruput minumannya tanpa berkomentar lebih jauh.

     "Padahal Om Veron sudah ngasih klarifikasi, korban juga nggak nuntut apa-apa karena keluarga Soedjono bertanggungjawab tapi kenapa situasi Aga masih kayak gini?"

     "Pertama, karena Tante Maura yang berusaha nutupin kasus ini. Kedua, karena mereka adalah keluarga Soedjono. Lo tahu obsesi beberapa orang dari kaum menengah ke bawah untuk tahu semua tentang keluarga kaya raya. Mereka semua berpikir keluarga kaya raya bahagia dan indah, bisa punya apapun yang mereka nggak punya. Jadi sekalinya ada malapetaka, mereka bakal anggap itu entertaining dan berlomba-lomba ngasih komentar jahat." Abel menjawab dengan rasional.

     "Lo benar. Tapi itu 'kan jahat banget. Mereka nggak tahu gimana kondisi Aga."

     "Kita nggak bisa kontrol orang lain 'kan? Itu sudah jadi resiko Aga. Dia ngelakuin kesalahan, sudah jelas bakal ada orang yang hujat dia. Anyway, gimana kondisi dia?"

     Ave menggeleng. "Kacau banget. Gue nggak pernah lihat Aga kayak gini sebelumnya. Gue takut kalau dia terus menerus nyalahin diri dan orang-orang mojokin dia, dia bisa ke arah depresi."

     "Keluarganya gimana?" Ave tidak menjawab, melainkan hanya memberikan seulas senyuman tipis. Abel memilih tidak memaksa Ave untuk menjawab. "It's okay. Dia punya teman-teman lain yang bakal support dia selain lo. Lo nggak usah terlalu khawatir."

     "Gue tahu. Tapi gue nggak bisa berhenti mikirin dia. Gue pengen di sisi dia buat ngasih kekuatan buat dia Bel. Gue nggak tega lihat Aga kayak gitu."

     Abel memperhatikan Ave dengan seksama sebelum bersuara pelan, "Lo sayang banget sama Aga ya?"

     Ave terperangah, matanya bersitatap dengan manik menyelidik milik Abel. "Bel, gue..."

     "Coba deh sekali saja jangan bohongin diri lo sendiri dan orang lain. Ralat, nggak pa-pa deh lo bohongin orang lain, tapi coba jangan bohongin diri lo sendiri. Lo nggak capek apa nyangkal mulu? Gue bahkan bisa lihat kalau perasaan lo ke dia bukan sekadar sahabat, tapi lebih dari itu."

     "Bel, gue saja nggak paham sama diri gue sendiri, gimana gue bisa bohongin lo?"

     "Kalau gitu coba tanya lubuk hati lo gimana perasaan lo ke Aga? Perjelas batasan-batasan antara sahabat dan orang yang lo suka. Lo harus paham sebelum lo nyakitin hati orang lain."

BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang