Bab 1

21 3 3
                                        

Nah, itu. Suara itu lagi.

Kate McCrady serasa membeku. Bola sepak menggelinding melewatinya, namun ia bahkan tak menyadari. Kepalanya meneleng ke satu sisi, mendengarkan.

Ya, itu suara yang sama yang telah di dengarnya sepanjang siang ini. Tinggi dan jernih, seperti denting lonceng-lonceng kecil. Kate melihat sekeliling halaman belakang.

Suara apa itu?

"Aku dapat!" seru Lainey Winters. Ia mengejar bola itu ke pojok halaman. Kacamata Lainey yang besar melorot ke hidung saat ia membungkuk mengambil bola itu. "Aku dapat!" serunya lagi. "Sekarang giliran Kate di tengah!"

Di seberang halaman, sahabat baik Kate, Mia Vasquez, berkacak pinggang. "Ada apa, Kate?" tanyanya. Tidak biasanya Kate luput dalam operan semudah itu.

"Kau dengar suara itu?" tanya Kate padanya.

"Suara apa?" kata Mia.

"Ada apa, sih?" seru Lainey, merasa ketinggalan. "Kita tidak main?"

Kate kembali mendengarkan. Suara lonceng itu tidak terdengar lagi. Ia merasa antusias, meski tak tau alasannya. "Bukan apa-apa, sepertinya," katanya, kembali pada latihan.

"Sekarang kau di tengah," Mia mengingatkannya.

Kate mengangkat bahu. Ia jago sepak bola. Ia piawai dalam hampir segala hal yang melibatkan lari, melompat, atau menangkap. Ia tak pernah di posisi tengah terlalu lama.

"Oke, Lainey. Ambil posisiku sini," panggilnya. "Lainey! Lainey?"

***

Lainey tidak mendengarnya. Ia memandang langit. Sekawanan burung flaminggo melintas di atas.

Flaminggo? Pikir Lainey. Rasanya tak mungkin. Dalam buku ilmu pengetahuan alam tingkat tiga Lainey ada gambar burung flaminggo. Flaminggo hidup di tempat-tempat yang hangat dan banyak sinar matahari. Mereka tinggal dekat laut dan danau. Mereka tidak tinggal di perkotaan seperti kota Lainey.

Mungkin kacamata menipu pandangannya. Lainey melepas dan menggosoknya dengan kaos. Ketika memakainya lagi, kawanan flaminggo itu sudah pergi. Dari arah terbang mereka, Lainey hanya melihat awan-awan berbulu.

"Lainey!" panggil Mia.
Lainey berpaling ke arahnya, terkesiap.

"Kau lihat kawanan flaminggo tadi?" tanyanya.

Dari cara Kate dan Mia menatapnya, Lainey merasa ia telah salah bicara. Ia merasa wajahnya memerah.

"Kita siap main," kata Kate. "Tapi bolanya kaubawa."

Lainey menunduk dan melihat bola dalam dekapannya. "Oh, benar." Lainey menurunkan bola itu ke rumput. Ia mengerling ke langit untuk terakhir kali. Tak ada flaminggo yang melihat.

Tapi ketika gumpalan awan itu melayang ke arah cakrawala, Lainey berani bersumpah ia mendengar suara kepakan sayap.

***

Di seberang halaman, Mia makin tak sabar. Kenapa hari ini teman-temannya bertingkah aneh? Mia hanya ingin segera menyelesaikan latihan mereka!

Akhirnya, yang melegahkan Mia, Lainey menendang bola. Bagus, pikir Mia. Tak ada gangguan lagi.

Tapi saat itu juga, pintu belakang rumah Mia menjeblak terbuka. Seorang gadis cilik yang mengenakan rok tutu pink menghambur keluar. Ia berlari kencang melintasi halaman, membuat suara seperti kumbang.

"Gabby!" teriak Mia pada adhiknya. Gabby berlari ke arah Kate yang mengejar bola. "Awas!"

Terlambat! Gabby menabrak Kate. Mereka jatuh ke tanah.

"Gabby!" teriak Mia lagi, kesal. "Jangan suka nyelonong."

Gabby duduk. Ia meluruskan kostum sayap peri yang dikenakannya. "Aku tidak nyelonong," katanya. "Kate yang nyelonong ke jalanku. Aku sedang terbang."

"Kau tidak terbang," kata Mia. "Kau mengganggu."

"Tak apa," kata Kate, bangkit dari rumput. "Gabby kau mau main bersama kami?"

"Ya!" kata Gabby bersamaan dengan Mia yang berkata, "Tidak!"

Kakak-beradhik itu saling mendelik.

"Gabby, kau masih terlalu kecil," kata Mia dalam suara kakak terbaiknya. "Sana main ke tempat lain."

Gabby menjulurkan lidah pada Mia. Kemudian ia berjalan dengan mengentak- entakkan kaki ke arah hamparan bunga. Gabby suka bermain di antara bunga-bunga., meskipun sebenarnya ia tak boleh begitu.

"Gabby, jauhi bunga-bunga Mami," kata Mia.

Gabby tak menghiraukannya. Ia membungkuk dan mengamati sesuatu dalam sekumpulan tulip. "Ooh!" serunya. "Peri!"

Mia memutar bola matanya. Imajinasi adhiknya memang besar. Tapi setidaknya ia tidak mengganggu mereka lagi. Mia kembali pada latihan mereka.

Pada saat itu, angin mulai bertiup. Mia mencium bau air laut. Ini aneh, pikirnya. Ia melihat sekitarnya. Entah cara angin sepoi-sepoi itu bertiup bisa membuat pepohonan kurus kering di halamannya terdengar seperti keesik pepohonan palem. Mia punya perasaan aneh bahwa jika ia mengintip dari sela pagar, ia bisa melihat laut persis di dekatnya.

Tentu saja, ia tahu itu gila. Laut ratusan kilometer jauhnya.

Angin melambungkan bola ke pojok halaman. Angkn juga membuat tangkai-tangkai bunga meliuk dan memberantakkan rambut para gadis itu. Anehnya, Mia dapat mendengar suara seperti debur ombak yang pecah saat mengenai pantai.

Para gadis lain juga mendengarnya. Suatu keanehan terjadi. Mereka saling merapat dan meraih tangan satu sama lain.

"Gabby?" seru Mia, mendadak takut. "Gabby, kemarilah!"

***

Ketika peri itu muncul di kebun, Gabby tidak terkejut. Ia sering pura-pura bicara dengan peri-peri. Kadang ia malah pura-pura menjadi peri. Peri memang menempati bagian yang amat besar dalam dunia Gabby hingga rasanya wajar sekali jija ia melihat sosok peri duduk di antara tulip-tulip ibunya.

"Halo, Peri," sapa Gabby.

"Aku Prilla," sahut sang peri. "Bertepuk tanganlah kalau kau percaya peri!"

Tak ada yang lebih percaya dari Gabby. Ia bertepuk tangan keras. Prilla sang peri bersalto kegirangan di udara.

"Sekarang aku harus pulang," kata Prilla.

"Jangan pergi dulu!" seru Gabby, tepat saat angin mulai bertiup lagi.

Angin bertiup amat kencang. Gabby mendengar kakaknya memanggil, "Gabby? Gabby, kemarilah!"

Karena takut Prilla akan melayang tertiup angin, Gabby menangkupkan tangan ke sekeliling Prilla. Ia memegang peri itu dengan lembut, kedua telapak tangannya menangkup sang peri, seperti saat membawa kupu-kupu.

Kemudian Mia menyambarnya.

Saat Mia menyentuh Gabby, dunia serasa berkelip. Para gadis itu merasakannya, seperti jepretan lambat lensa kamera.

Detik berikutnya, halaman belakang itu senyap.

°°°°°°°°°°

Writing:
16 September 2019 s/d
14 Oktober 2019
Publish:
14 Oktober 2019

Gimana?

Jangan lupa 'voment'.

The Never Girls(10)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang