Night

336 41 4
                                    

Rinto kicep. Menyesal sudah memberikan Len 2 gelas wiski. Padahal ternyata lelaki bersurai kuning itu tidak bisa kompromi dengan alkohol.

"W-Woi, apa-apaan?" kau tertawa kecil, hendak meraih pundaknya.

Namun Len menangkis tanganmu. Sejurus kemudian badanmu sudah ditarik olehnya.

Jemari Len mengelus bawah dagu-mu. Kau mendengus kegelian.

"—Aku rindu sekali padamu," ia menyingkap rambutmu yang jatuh di wajah.

"Aku...juga?" ucapmu terbata.

Kau nyaris harakiri ditempat. Len berbau alkohol, dan tingkahnya sudah mulai aneh. Rinto sudah mengusap kepala. Lenka melihat hal ini, mundur sejenak, menghambur ke pelukan kakaknya Rinto. Rin bersikap 'bodoamat, aq ga denger, aq makan jeruk,' sembari mengambil irisan jeruk di meja yang sudah ia siapkan setelah ceri.

"Lemah bat lu anjir, (Y/N) aja habis lebih satu gelas darimu dan ia normal saja," Rin menjewer saudara kembarnya itu. Yang punya telinga hanya mengaduh.

Pahamu terasa berat. Begitu kau sadari, lelaki itu menyenderkan kepalanya ke pahamu. Lalu tertidur bak bayi polos.

"Gue galiat. Ngengengengengeng, gue Nyamuk," seru Rin.

"Susah juga ya punya cowok gampang teler, eh?" Lenka tertawa lebar. "Sabar-sabar ya, kak (y/n)."

Kau tertawa hambar, muka merona merah.

***

Ya, kau memang nyaris harakiri.
Kini kau memandang langit dari kamar Len.

—kamar Len? Betul.

Len sangat amat manja padamu, menempel seperti dilem dengan lem super.

Jam 11:58.

Rin melirik jam antik besar peninggalan neneknya. "Sudah jam segini. Aku mau tidur, besok aku ada janji bertemu Miku-nee."

Mendengar itu, Rinto dan Lenka tersenyum jahil. Mereka mengambil langkah seribu dan segera kabur dari ruang tengah, pergi ke kamar mereka masing masing. Terdengar bunyi kunci pintu.

Rin telah paham dengan maksud kedua saudaranya itu. "(Y/N), kau tidur di kamar Len. Aku tidak mau tahu."

"HAH?"

Rahangmu membuka. "Gamau. Kenapa harus aku? Aku hanya tamu."

Rin tersenyum horor, "Iyaaaaa. Tabah tabah ya, (Y/N). Kyahahah!"

Rin menuju kamarnya, kau bisa mendengar suara pintu ditutup. Blaam.

Kau mendengus kesal.

"Eh iya lupa. Kamar Len disitu, pintu hitam, kalau kau lupa," kepala Rin melongok dari pintu, ia membukanya setengah.

Blaam. Pintu ditutup lagi setelah Rin mengucapkan itu.

Dan begitulah yang terjadi.

Kau memainkan ponselmu. Tadi siang kau terlalu banyak meminum kopi, kadar kafeinmu sedikit meningkat. Akibatnya kau tak bisa tidur. Syukurlah kau merupakan salah satu petinggi bawahan Nyx, dan kakakmu itu akan memberikan dispensasi ringan apabila kau tidak masuk kerja esok hari.

"Leen," tanganmu memegang Len. Yang dipanggil menghiraukan. Ia tengah tidur di kasur, miring ke kanan. Kau ada di sisi kiri kasur.

"A-Aku mau cerita aja deh. Tapi pake elo-gue biar nostalgia jaman SMA, hahah," ujarmu, menyelonjorkan kaki.

"Saat gue bangun pertama kali yang gue lihat adalah Kaito. Gue belum ingat siapa dia, namun beberapa hari kemudian gue ingat kembali. Dokter Kaito yang berwibawa, jenius dan tekun tak disangka dulunya hanyalah playboy kelas kakap yang pernah nge-PHP-in gue sampai gue galau 7 hari 7 malam dan ngasih Luka cincin."

Hening. Sepertinya Len juga masih berada di alam mimpi.

"T-Terus inget ga pas gue diospek sama lo?!" nada suaramu meningkat sedikit, antusias, "Gila, gue langsung dipojokin begitu! Jahat bener lu Len, bener bener image lo ialah kakak kelas penggertak yang bantet, aowkwkwk."

Kau manyun. Kau kira Len akan bangun dan melanjutkan percakapan satu orang-mu ini. Nyatanya ia tak bergeming.

Tangan kirimu bergerak, kokoh disamping tubuh Len. Kau berada diatasnya, posisi tangan bertumpu. Wajahmu sedikit memerah.

Ngapain coba gue ngelakuin ini.

"Cerewet, bilang saja ingin ditemani, kan?" suara seseorang menimpali.

Kau terkesiap. Len hanya pura-pura tidur. Lelaki itu segera membalikkan badannya, lantas melakukan posisi yang sama seperti yang kau lakukan. Berada diatasmu.

Jantungmu nyaris lompat keluar. Perlahan kau menjulurkan tanganmu. Membelai rambut pirang Len.

"Gue gak minta ditemenin."

"Sok-sok gak mau, tapi sebenernya mau. Hmph, klasik, logika cewek," seringai menyebalkan itu kembali hadir di wajah Len.

Urgh. Sama persis saat ia mengospek saat SMA.

"Gue takkan biarkan lo ngepel lagi. Hilang nyawa orang kalau kepleset hasil kerja-mu," ledeknya.

Sentilan mendarat di wajah mulus Len.
"Oh? Dan cowok dengan tinggi tubuh sepertimu sepertinya lebih baik jadi kuman, sana. Ke laut gih. Gue yang dorong ke laut dengan sukarela."

"Sa ae lu."

Keheningan meliputi kalian berdua. Hanya nafas masing-masing dan detik jam.



"Pandang mata gue."

Len menurunkan dirinya sedikit. Lantas ia menautkan bibirnya dengan milikmu. Semuanya terjadi dengan perlahan dan lembut. Dunia seperti berhenti bergerak.

Wajahmu terasa panas memerah, namun jiwa mengisengi-mu belum padam. Cengiran merendahkan terpampang jelas di wajahmu.
"Lembut banget, ga kerasa, tuh..?"

Len mendengus, "Njir. Lo aja yg kasar."

Kau bangkit dari posisi tidur, menjadi duduk. Tanpa aba-aba, kau menyerang lelaki disampingmu. Tanganmu mencengkeram tubuhnya, bibirmu menyatu dengannya. Dengan sadar, kau menggigit bibir bawah Len. Ia mengaduh. Beberapa detik kemudian, kau menjauh.

"—Nah," kau tertawa dengan sisa nafas, menghirup udara. "Itu baru fantastis."

"Huff, hah—Astaga, lo kelewat barbar atau gimana?" Len menghirup udara banyak-banyak setelah tadi.

Kau menyenderkan tubuhmu ke lelaki disampingmu. Ia menerima dengan senang hati.

"Jangan pergi jauh lagi. Nyarinya susah, sampai koma-komaan segala," ledek Len.
"Iyaa."

Len mendadak berdiri, mengambil sesuatu di sudut lemari-nya. Lantas kembali ke kasur.

Kau menekuk kakimu lagi.

"—Itu ngapain?"
"Gaperlu sok kepo. Gapenting. Anak kecil gaboleh tahu, hush hush sana."
"...umurku dua puluh tahun lebih, idiot," kau tersenyum ingin menabok.

Cahaya bulan terang sekali menembus awan.


.
.
.

"—Nikah yuk?"

***





VHMS  [Kagamine Len x Reader] [HighSchoolAU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang