🍃
Dua cangkir teh menyisahkan aroma, satu piring roti bakar menyisahkan remah, di teras rumahmu terukir sudah sebuah kisah. Dua kursi kayu mengayun syahdu, mendamaikan hati yang urung riuh, menidurkan amarah, memerahkan wajah penuh rona, dan satu lagi ....... zzzzZzzZ
Lantunan adzan subuh membangunkan tidurku.
Mimpiku usai, tatanan itu tiba-tiba berlari tak karuan, kini yang tersisa hanyalah ingatan muram tentang bait pertama yang sengaja tak kuindahkan. Anggap saja aku menghapusnya, anggap saja kalian menyesal membacanya, dan kisah ini tak seindah perbincangan kita....
Selepas azan subuh, di bawah langit pagi yang kian benderang.'''
Aku duduk menyendiri di lantai dua rumah kayu. Mataku disajikan wedangan indah sekat-sekat sawah. Jika saja aku bersedia berdiri, arus sungai yang menyanyi itu pasti mampu kunikmati. Sayangnya, kakiku menolak untuk terlalu bahagia. Angin menggoda telingaku, membisikan mantra-mantra yang membuat sayup dua bola mataku. Terpaan padi bagai biola orchestra, sesekali bulirnya menjatuhkan diri karena terlalu semangat menari-nari. Seketika, nada biola meninggi, membagikan simponi indah itu pada semesta, pada diriku yang jatuh dalam tempo melankolis. Sekarang, aku terkurung pada nyamannya pegangan kursi kayu yang menghipnotisku....
Getar gawai membuka mataku, membangunkan tidur jari baikku, menghangatkan telingaku, memberi rona merah pada wajahku. Mataku lekat meneliti, memastikan pesan itu benar darinya. Analisis yang kuberikan menemui solusi, tak lama aku berani menyimpulkan bahwa hipotesis selama ini perihal mustahilnya dia memulai percakapan denganku terbantahkan hari ini. Saat ini juga, di lantai dua rumah kayu, aku bahagia sekali.
“ Assalamualaikum, Apa kabar?”
Pesan itu kuperhatikan sangat lama, masih tentang ketidakpercayaan. Apakah pesan itu salah sasaran?, apakah bukan tangan dia yang menuliskan?, apakah benar keikhlasan hatinya yang mengantarkan?, apakah kemustahilan mampu diubah? Apakah ini yang buatku tak percaya.
“ Waalaikumussalam, Alhamdulillah kabar baik “
Kuberanikan membalas pesan, kutitipkan senyuman setelah tanda petik, dan kunikmati kerinduan selepas tanda koma. Sungguh, semesta sedang baik sekali, sungguh hatiku tak pernah sebahagia ini, sungguh.
Senyumku berubah rupa, selepas sepuluh menit yang amat lama. Aku mencoba menebar positif, yang tumbuh hanyalah malu yang tumbuh membesar. Aku mencoba melempar muka, yang kutemui hanyalah gerimis di wajah, kucoba untuk tenang, yang kudapatkan hanyalah elusan dada dan muka muram.
“Alhamdulillah kalau baik, emm ... maaf tadi yang ngetik bukan aku, dia salah kirim, maaf ya”
...
...
...
...
Percayalah bait yang aku lewatkan itu adalah momen tangis, kalian tak perlu tau.
Di lantai dua teras rumah, aku menyusun metodelogi baru dan mengkaji teori-teori untuk bahan ajarku. Bahwasannya mengharapkan yang tak mau adalah luka yang tak kunjung sembuh. Bahwasannya mengharapkan yang memang tak pernah mau adalah luka yang berbekas.
Bahwasannya mengharapkan yang memang memang tak mau adalah teori kebodohan yang dipertahankan.
Salam sakit hati, dari deras sungai penantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI KISAH UNTUK KEKASIH
RandomKasih kekasih menjadi kisah. . Aroma Atsiri, Cendana, dan Petrikor tercium bersamaan dengan asinnya tangis di ujung jurang kekecewaan. Aku bertanya-tanya pada Tuhan, mengapa di jalan ceritaku ada objek yang selalu memalingkan pandang dua bola mataku...