Paragraf 16 ; The Truth

1.9K 296 5
                                    

"Bang, ku lihat sejak tadi abang melamun terus. Ada apa?"

Pagi itu Wira yang sudah bersiap menuju kampus merasa heran ketika melihat kakak sepupunya yang hanya duduk di sofa sembari melamun. Awalnya Wira tidak mau mengganggu Saga, tetapi lama kelamaan Wira tidak tahan lagi karena lelaki itu terus terdiam seperti patung. Hingga ia pun memutuskan untuk menepuk pundak Saga dan membuat lamuan Saga buyar.

"Oh, Wira? Apa kamu mau berangkat ke kampus?"

"Iya bang. Seperti biasa bersama bang Evan setelah mengantar Sean. Kami berdua sepertinya tidak akan sempat sarapan, jadi kami nanti akan makan di kampus. Tapi bang Saga tenang saja. Bang Evan tetap menyiapkan bekal untuk Sean dan sarapan untuk abang dan Runa. Astaga aku sampai lupa. Abang kenapa melamun terus sejak tadi? Ada masalah?"

"Tidak, aku hanya merasa sedikit pusing setelah bangun tidur. Mungkin karena tidur terlalu lama."

"Mau ke dokter, tidak? Atau abang butuh obat?"

"Tidak perlu. Aku tidak apa-apa. Apa Sean sudah bersiap? Lalu Runa, apa dia sudah bangun?"

"Tenang bang. Semua sudah beres."

Wira tersenyum puas ketika melihat Runa yang terlihat sangat telaten ketika mempersiapkan kebutuhan Sean dan membantu Sean berpakaian. Lalu pandangannya beralih pada Evan yang sudah terlihat selesai dengan masakannya di dapur. Senyuman Wira semakin mengembang ketika ia membayangkan jika Saga dan Runa sudah menikah nanti. Pasti akan harmonis dan bahagia. Begitu pikirnya.

'Aku membayangkan suasana ini nanti seperti ketika bang Saga dan Runa sudah menikah dan tinggal di satu atap yang sama. Anggap saja saat ini Sean adalah anak mereka. Lalu bayangkan saja jika bang Evan adalah pelayan di rumah ini. Sungguh pemandangan yang menenangkan. Sayang bang Saga belum bisa melihatnya sekarang. Tapi aku yakin bang Saga suatu saat nanti pasti bisa melihat lagi. Pasti.'

"Bang, abang kami tinggal berdua dengan Runa. Tidak apa-apa, kan?"

"Tidak masalah. Lagi pula ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada Runa. Kalian berangkat saja, antar Sean dengan selamat."

Evan mengangguk dan menggandeng Sean yang sudah rapi itu menuju mobil bersama dengan Wira. Belum masuk mobil, Sean sudah merengek dan enggan pergi meninggalkan Runa, membuat Evan dan Wira tersenyum tipis. Mereka tahu jika Runa telah mengambil hati Sean sepenuhnya. Itu tandanya, Sean sudah memberikan lampu hijau untuk hubungan Saga.

"Bunaaaaa.... ikut! Sean mau Buna, ikut Sean!"

"Nanti malam kan Sean ketemu Buna lagi. Kalau Sean nurut, nanti abang belikan Sean coklat yang banyak. Ayo, Sean gak boleh jadi anak nakal. Nanti Buna Runa gak mau ketemu Sean, loh."

Sean hanya cemberut dan menatap Evan dengan tatapan kesal, lalu memilih untuk masuk ke mobil sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Tentu perilakunya tersebut membuat Runa menjadi gemas. Ia sadar jika dirinya telah menyayangi Sean meskipun baru mengenalnya sesaat, dan ada rasa tidak rela jika nanti ia harus pergi meninggalkan Sean, dan juga Saga.

Runa hanya termenung di depan setelah mengantar kepergian ketiganya. Ia tersadar jika waktunya di Busan hanya tinggal menghitung hari. Padahal hubungannya dengan Saga baru saja dimulai, dan ia menjadi bimbang apakah hubungannya ini akan berakhir ketika ia kembali ke Indonesia nanti atau tidak.

***

"Runa? Apa kamu bisa mengantarku ke rumahmu? Ada yang ingin aku cari di sana. Nanti akan kujelaskan."

Runa terhenyak kaget ketika tangan lembut Saga mendarat di pundaknya. Lamunannya pun buyar, berganti dengan suara detak jantungnya yang tidak karuan. Ia sepertinya masih belum terbiasa dengan sentuhan dan kehadiran Saga yang mendadak itu.

PARAGRAFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang