Hanya Awal

241 16 3
                                    

Mentari pagi menyapa. Hey, semuanya masih menginginkan malam yang panjang – tubuh mereka tidak cukup hanya dengan beristirahat 8 jam saja. Jika saja diberikan malam yang panjang juga tidak akan nyaman.

Akan nyaman rasanya jika semuanya tetap seperti ini. Normal. Biarkan semua yang diharapkan meluap bersama udara yang berhilir tak ada ujungnya.

Ketika pagi dan waktu kembali berputar seperti kemarin, maka mau tak mau kelopak mata harus membuka. Menyambut datangnya hari yang entah akan berjalan menyenangkan atau tidak.

Jangan salahkan saraf respon tubuh yang sudah diatur oleh Tuhan seperti itu.

Ketika seberkas cahaya menyelinap masuk kedalam ruangan dan ditangkap oleh retina, gadis di dalam ruangan tersebut terbangun. Terduduk, sebelum akhirnya turun dari ranjang.

Pukul 05.30 pagi. Ah, pantas saja. Nampaknya ia bangun lebih siang dari biasanya.

Bersiap menuju tempat dimana ia bisa nyaman dengan masanya sekarang.

Senior high school. The place that she can found her happiness and forget about that bastard problem. The place that she won’t to leave at all. But she have to.

Menyusuri koridor saat sekolah masih sepi adalah hal terbaik dari yang selalu muncul dalam setiap karangan yang berisi untaian kata yang kalian baca disetiap judulnya. Ditemani dengan alunan musik atau gumaman yang menciptakan nada dari sebuah melodi yang pernah ditangkap oleh indra pendengarnya.  Sebuah beberapa frasa yang sangat sering dijumpai dirangkaian kata dalam suatu cerita.

Otaknya memutar kejadian dimana ia tiba-tiba ditelpon oleh salah satu teman sekelasnya. Menyuruh gadis tomboy ini untuk datang lebih awal karena urusan tugas. Tugas? Hah, apa peduli gue? Ia pastilah akan datang disaat sekolah masih baru saja didatangi oleh para siswa yang memang rajin, atau memang rumahnya jauh.

Tangan kiri ada di dalam saku hoodie dan tangan kiri memainkan kunci motor ninja kesayangannya.

Telinga yang juga dihiasi oleh headset, yang sudah bertengger manis sejak ia menaiki motornya untuk berangkat menuju lembaga yang satu ini.

Gumaman dari bibir tipisnya yang dipoles dengan lip care itu masih terdengar.

Sepersekian detik kemudian ia tersenyum karena seseorang memanggilnya dari arah balkon lantai dua. “Re!” sambil mengangkat tangannya, yang dibalas lambaian ceria oleh gadis ini.

“Pagi kak,” jawab gadis ini dengan senyumnya.

Masih pagi, harus senyum, biar nggak sumpek.

Kakak kelas tadi – Calvin Antares, si jenius musik dari kelas 12 IPA itu membalas senyum pagi gadis tomboy itu. Sempat terjadi beberapa dialog santai sebelum akhirnya pamit untuk cepat-cepat ke kelas. Dibalas anggukan oleh Calvin.

Lagipula ia tak tahan dengan tatapan gadis kelas 12 lainnya yang melihatnya berinteraksi dengan salah satu bintang sekolah itu.

Dari arah gerbang menuju kelas memang agak jauh, mengingat kelasnya ada di ujung. Ugh, aku benci kelas diujung, dasar!

Tapi memang adanya seperti itu, mau menolak dengan cara apapun juga tidak akan mempan. Menggerutu pun juga tidak ada gunanya.

Hanya telinga manusia yang saat itu mendengar gerutuannya dan juga Tuhan yang mendengar semuanya.

Saat dirinya menginjak kaki di ambang pintu kelasnya, ia masih bisa melihat kelas itu dengan pandangan yang luas. Masih belum ada siapa-siapa disini selain dirinya.

Ia berjalan memasuki ruangan tersebut sembari menyalakan lampu yang sebelumnya mati. Kearah barisan belakang, tempat patennya selama semester ini.

Her ; Stray Kids Lokal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang