Prolog

830 80 15
                                    

"Win, mulai sekarang kamu nggak usah antar atau jemput aku lagi. Besok, besok, dan besoknya juga nggak usah."

Tidak ada keraguan. Semua diucapkan dengan jelas dan mantap. Ekspresi dan tatapannya yakin. Tak tampak sedikit pun sesal. Kedua tangan terlipat di meja, tubuh tegak di punggung kursi, bibirnya yang terkatup rapat membentuk garis tipis.

Di depannya Erwin spontan menghentikan kegiatan menyendok ramen, membiarkan mulutnya setengah ternganga sampai beberapa saat. Selera makannya langsung menguap entah kemana. Tak sadar sendok terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi berdenting yang lumayan keras.

Erwin mengambil sendok yang tadi jatuh lalu meletakkan begitu saja di meja. Ditatapnya Aruna dengan kening berkerut dan mata menyipit. "Kenapa?" tanyanya singkat. "Karena cowok lain?" lanjutnya.

Kedua tangan Erwin bersedekap dengan tubuh menyandar di kursi. Aruna juniornya, bergelar play girl cap kadal sejak masa di kampus dulu. Mereka bertemu pas acara pembukaan restoran Rindi, sahabatnya. Saat mereka mulai dekat, teman-teman sesama chef sudah memperingatkan tentang sifat Aruna. Namun, rasa penasaran membuatnya abai.

Aruna menggeleng. Ditatapnya Erwin yang juga sedang menatapnya. Dia mencoba merangkai kalimat paling sederhana namun dengan mudah bisa dipahami cowok di depannya.

"Kamu tidak memenuhi kriteria cowok idamanku, Win." Aruna memutuskan mengatakan yang sebenarnya. Sorot matanya memancarkan sesal. Meskipun tidak terlalu menyesal sih sebenarnya. Karena pada akhirnya dia tetap ingin putus.

Erwin mendengus mendengar ucapan Aruna. Tidak memenuhi kriteria cowok idaman. Hah! Gila benar. Dasar sialan nih cewek batin Erwin geram.

Di atas meja, kedua tangan Aruna saling bertaut. Dia tahu Erwin pasti tidak terima dengan alasan yang dibuatnya. Tapi mau bagaimana lagi, perempuan itu merasa Erwin bukan yang selama ini dicarinya. Meskipun kalau mau jujur kekurangan cowok itu sedikit saja. Tetapi tetap saja tidak memenuhi kriterianya.

"Bagian mana dari diriku yang tidak memenuhi kriterimu itu?" tanya Erwin.

Dia benar-benar belum siap putus. Aruna pacar yang asyik. Peduli tetapi tidak terkesan mengekang. Selain itu tidak pernah ada drama dalam hidupnya. Kalau tidak suka ya bilang tak suka. Jujur, Erwin belum ingin kehilangan semua itu.

"Aku, ah, sudahlah, Win, kita bubar saja, aku..." Aruna menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Matanya memejam. Bayangan Erwin membentak kasir minimarket hanya karena sedikit terlambat menyerahkan kembalian belanja kembali melintas.

"Kenapa?!" bentak Erwin akhirnya. Dia benar-benar kehilangan kesabarannya.

Aruna terpana mendengar suara Erwin yang keras. Waw! Tiba-tiba dia semakin yakin dengan keputusannya. Padahal tadi sempat ragu dan ingin memberi cowok itu kesempatan. Sekarang? Tidak ada tempat bagi cowok kasar begini.

"Sorry, Win. Kita putus sekarang juga," ujar Aruna tegas dan jelas. Sebersit sesal muncul saat melihat wajah pias cowok di depannya. Namun, cepat-cepat dia menepisnya.

Dengan gerak cepat Aruna berdiri sambil mengulurkan tangan yang sama sekali tidak digubris Erwin. Sambil mengangkat bahu Aruna menarik tangannya kembali. Melihat wajah yang sekarang memerah dengan kedua tangan mengepal kuat, Aruna cepat-cepat menyambar tas di meja. Setelah mengucapkan kata maaf sekali lagi, dia berbalik meninggalkan laki-laki itu lengkap dengan segala amarahnya. Aruna harus segera bergegas kalau tidak ingin kuah ramen itu mengguyur seluruh tubuhnya.

Dengan langkah ringan Aruna berjalan ke arah halte tidak jauh dari tempat ia dan Erwin bertemu. Setelah melihat ke kiri dan ke kanan dia menyeberangi jalan. Hari ini dia ingin naik bus. Kebiasaan yang kadang dilakukannya saat sedang merindukan masa-masa bersama ibunya dulu.

"Lagi pengen. Kali aja aku ketemu cowok impianku di sana," ujarnya santai setiap kali Lintang, sepupunya, memprotes kelakuannya itu.

Aruna duduk di bangku halte lalu mengedarkan tatapannya, memperhatikan satu persatu orang-orang yang berada di sana. Tatapannya berhenti, melihat sosok yang sibuk memasukkan rokoknya kembali ke bungkusnya.

"Dia lagi," batinnya.

Beberapa kali iseng menaiki transfortasi berwarna biru cerah itu mereka selalu bertemu. Tidak pernah saling sapa hanya saling tatap untuk beberapa saat, kemudian berpaling dan asyik kembali dengan ponsel mereka masing-masing.

Aruna mencoba tak peduli, tapi saat cowok itu berdiri dan mempersilahkan seorang ibu yang membawa anak kecil, hati Aruna mulai terusik. Dia baru berhenti menatap saat laki-laki itu balas menatap dan tersenyum ke arahnya.

Tak berapa lama bus Aruna datang. Dia naik tanpa melihat meskipun hatinya ingin sekali menatap. Saat posisi duduknya di dekat jendela tanpa berusa menahan diri, Aruna menoleh ke arah laki-laki yang juga sedang menatapnya itu. Dadanya berdesir.

Just Another BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang