Ketika Wooseok kecil, ada satu lagu yang sering disenandungkan oleh ibunya, terutama saat Wooseok sedih. Ibunya akan memeluk Wooseok, lalu menyanyikan lagu tersebut dengan suara beliau yang lembut, meyakinkan Wooseok bahwa beliau akan selalu hadir untuknya.Pada awal musim semi tahun 2016, salju masih saja turun saat cuaca seharusnya sudah mulai menghangat. Udara terasa dingin, seperti layaknya hati Wooseok. Pelukan ibunya seolah kehilangan keampuhannya, tak mampu memberi perlindungan dan kenyamanan yang Wooseok butuhkan. Sudah tiga bulan ini Wooseok dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa ia telah ditinggalkan. Mataharinya tiada. Semuanya terasa gelap. Dan hampa. Wooseok merasa terhimpit dan sesak. Yang lebih menyakitkan dari perasaan kehilangan itu sendiri adalah perasaan bersalah yang selalu bersemayam dalam hati Wooseok yang terdalam. Menggerogoti perlahan demi perlahan, hari demi hari, sampai pada titik di mana Wooseok tak mampu berfungsi dan berpikir secara normal.
"Kami turut berduka cita."
"Terima kasih. Kami ikhlas."
"Berapa umurnya?"
"Masih 17 tahun. Masih muda sekali..."
"Meninggalnya kenapa?"
"Katanya dari kecil memang sudah sakit..."
"Ssst, lihat itu Wooseok!"
"Kasihan dia..."
"Aku lebih kasihan sama Jinhyuk. Kondisinya menurun sejak acara Natal sekolah, kan? Ia pasti dipaksa datang sama Wooseok padahal kondisinya nggak memungkinkan."
"Hush, nggak boleh gitu. Jinhyuk itu sayang banget sama Wooseok."
"Iya, saking sayangnya sampe sering bela-belain buat Wooseok. Si Wooseok tuh nggak peka, atau bodoh, atau gimana sih?"
"Eh, anaknya denger tuh."
"Biarin aja. Biar dia sadar."
"Kalian kenapa sih? Malu-maluin aja. Kalo suka sama Jinhyuk, mending doain aja deh. Hormati keluarganya yang lagi berduka. Bukan malah jelek-jelekin orang."
"Kita nggak jelekin kok. Cuma bicara fakta. Emang dia yang salah."
Andai bisa, Wooseok ingin sekali meminta mereka untuk diam. Wooseok ingin berteriak dengan lantang. Namun lidahnya kelu. Seluruh tubuhnya terasa kebas. Dan jika saja Wooseok diberi pilihan, Wooseok ingin berbisik di telinga Jinhyuk, agak turut membawanya serta.
***
Wooseok menengadahkan kepalanya melihat ke langit. Hari ini salju kembali turun, butirannya terlihat melayang dari sela-sela ranting beot-kkeot yang masih enggan berbunga di Namsan N Tower. Ia tadi menyempatkan diri mencari gembok yang pernah ia dan Jinhyuk pasang dua tahun lalu. Sulit, karena tiap hari selalu ada gembok baru yang terpasang. Namun usahanya berhasil. Gembok mereka masih ada di sana. Berwarna biru pudar, sedikit berkarat. Namun ada.
Wooseok mendudukkan dirinya di salah satu bangku di sana. Kepalanya berat. Mungkin efek insomnia yang ia alami belakangan ini. Atau mungkin karena terlalu lama terkena salju. Masih terngiang larangan ibunya agar Wooseok tidak pergi kemana-mana. Tapi ia butuh keluar. Mencari pelampiasan. Merasakan dinginnya udara di tubuhnya. Mungkin rasanya lebih baik dari pada sekadar merasakan dingin di hati karena rasa sepi yang mendominasi.
Tubuhnya mulai menggigil saat ia merasa ada sebuah mantel yang disampirkan di bahu sempitnya. Wooseok mendongak, kemudian melihat satu sosok ia kenal. Ah, lelaki ini yang sempat menghiasi hari-harinya, menawarkan pertemanan, tapi lalu menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
About SeunSeok (Completed)
FanfictionThe Sweet Life of Mamas Seungwoo dan Yayang Wooseok