16. Gara-Gara Kertas

2 2 0
                                    

Nasehati aku dengan baik, maka aku akan berterima kasih.
Tapi saat kau membandingkanku dengan yang lain, aku tidak tau harus apa.
Selain kecewa.

-Anzil Alaina Rahma-

🍓🍓🍓🍓🍓

Ina Pov.

Keadaan rumah tidak seramai kemarin.

Hanya tinggal beberapa orang yang masih bertahan.

Ah ya, kuberitahu kalian. Kemarin beberapa saudara kembali kumpul dirumah, bunda mengadakan syukuran pernikahan mbak Nisa. Istilahnya sepasaran manten. Atau 5 hari pasca pernikahan.

"Assalamualaikum...." aku mengucap salam saat memasuki rumah.

"Waalaikumussalam....." jawab beberapa orang yang duduk di ruang keluarga.

Aku mencium tangan para tetua.

"Gimana raportnya?" tanya Luqman.

Aku tersenyum lelah. Aku duduk di atas karpet, membuka tas punggungku dan menyerahkan map yang berisi nilai raport tengah semester itu pada ayah.

"20?" tanya Luqman.

"Hmm" aku mengangguk lesu.

Luqman menghembuskan nafasnya kasar.

"Kenapa kok mrosot gini? rata-rata juga cuma 72.89."

Aku menangkap nada kecewa dalam suara ayahnya.

"Man, biarkan anakmu istirahat dulu. Lihat wajahnya bahkan masih merah karena kepanasan" ucap Arfan, kakak dari Luqman.

Sreeeet.....

"Apa ini? 20? haduuuh, Ina. Kamu ini gimana sih. Bikin malu aja kamu ini. Kamu tau ga sih, ga ada sejarahnya di keluarga kita dapat rangking 20 kaya gini. Minimal masuk 10 besar." Suara cetar membahana milik saudara sulung dari pihak ayah, budhe Halimah, orang yang sama yang mengibaratkan aku sebagai sebutir telur busuk, beberapa hari yang lalu, memenuhi ruangan.

Dadaku mendadak sesak. Ia merasa oksigen menipis dengan cepat.

Percayalah tidak seorangpun suka dirinya dibandingkan, di hina apalagi di depan banyak orang.

Itu benar-benar memalukan.

Melukai harga diri.

"Azmi, bawa adikmu ke kamar. Jangan lupa ambilkan minum." titah Arfan pada mas Azmi yang baru datang dari arah dapur.

🍄🍄🍄🍄

Author Pov.

Azmi mendekati Ina.

Digandengnya bahu Ina yang mendadak bergerak kaku seperti robot. Pandangannya terpusat pada satu titik.

Meski heran dengan semuanya ia menahan diri untuk tidak bertanya.

"Ganti bajumu, mas ambilkan makan dan minum." Ucap Azmi begitu sampai di kamar.

Ia tak merespon ucapan Azmi, namun langkahnya menuju lemari tempat menyimpan pakaian miliknya.

Ia melangkah keluar kamar menuju kamar mandi. Berniat mendinginkan badannya yang gerah.

Usai mandi ia tak sengaja mendengar suara budhe Halimah yang masih membahas raport tengah semesternya. Tatapannya bertemu dengan tatapan sang ayah.

Selama lima menit ia terpaku nendengar suara cempreng sang budhe yang terus menerus menjelekkan dirinya.

Tak sekalipun ayah dan bundanya terlihat menyahut atau membelanya. Air matanya menetes mewakili rasa entah apa yang nemenuhi rongga dadanya.

Merajut Bahagia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang