4. Kepergok

5K 759 35
                                    

"Pacaran sama siapa, sih? Abang kan tahu kalau aku jomlo," balasku dengan raut wajah masam. Kalau dirinya ada di sana seharusnya kan menghampiriku, bukannya malah membiarkanku terjebak dengan situasi gila. "Abang, bohong? Buktinya aku enggak lihat Bang Romi."

"Padahal waktu pulang kita pas-pasan."

Aku mengingat kembali kejadian semalam. Sewaktu pulang aku tidak sengaja menabrak seorang pria, tetapi bukan aroma lemon khas Romi yang kucium. Namun, bau alkohol yang menyengat dan lelaki itu berjalan terseok-seok. Makanya, aku tidak berpikir sedikitpun kalau pria itu adalah editor galakku.

"Seingetku aku cuma pas-pasan sama cowok mabuk, terus aku enggak sengaja nabrak dia. Masa itu Bang Romi?"

"Kemarin aku terpaksa minum."

Aku hanya ber'o' saja. Meski aku penasaran kenapa dia bisa mabuk seperti itu.

"Bang, boleh tahu enggak undangan yang Abang kasih ke aku itu Abang dapat dari mana, sih?"

"Udah kubilang dari temenku. Aku udah janji sama dia buat enggak nyebutin namanya ke kamu. Kenapa?"

"Abang bukan gay, kan?"

Pletakkk! Satu jitakan mendarat di kepalaku. Aku langsung menatapnya tajam.

"Bukannya kamu yang belok."

Aku mendelik, "Enak aja. Aku suka cowok ya, Bang. Apalagi yang kayak Lucky Blue Smith. Udah deh ngaku aja sama aku. Kita kan udah kayak saudara."

"Cit, bibir kamu kenapa?" Romi menatap bibirku seraya menajamkan matanya. Ia tampak begitu terkejut. Hal itu membuatku was-was.

"Kenapa emangnya?" tanyaku balik.

"Berdiri sini, biar kulihat jelas. Kayaknya kamu alergi."

Aku langsung membuka mulut karena kaget. Alergi? Perasaan aku hanya makan sayur asam tadi. Tidak makan apa-apa yang menyebabkan alergiku kambuh. Kalau kambuh pasti gatal-gatal, ini tidak sama sekali.

"Masa sih?"

"Ya, enggak tahulah. Makanya sini biar kulihat bibir kamu kok bisa membiru."

Aku langsung berdiri mendekat ke arah Romi. Berharap dia salah lihat, silau atau apahalah.

Romi menekan pipiku yang membuat bibirku terbuka dan maju ke depan.

"Wah, parah ini. Harus segera diobati."

"Terus gimana?" gumamku dengan suara tak jelas.

"Tenang, aku punya obatnya. Mending kamu merem dulu."

Aku malah tambah bingung dengan ucapan Romi. Memangnya memejamkan mata bisa mengobati luka. Apa jangan-jangan dia mau mengerjaiku karena perkataanku yang menyingungnya tadi? Mau itu benar atau tidak, aku tetap memejamkan mataku biar dia puas.

Setelah kupejamkan mata, kurasakan jemarinya yang menekan pipiku menjauh. Kemudian, yang terasa adalah tangannya menangkup pipiku bersamaan dengan bibirnya yang ditautkan di bibirku. Mataku terbuka seketika begitu menyadari kalau Romi tengah berusaha menciumku.

Aku terbelalak kaget melihat apa yang terjadi. Buru-buru kupejamkan mataku lagi, berharap ini mimpi. Perasaanku menjadi tak keruan. Apalagi, saat kurasakan usapan tangannya di pipiku membuat jantungku berdebar hebat.

"Romi lo--" Suara seorang pria membuat Romi menghentikan aktivitasnya.

Aku tetap memejamkan mata karena bingung, takut, dan malu. Bingung harus bertindak seperti apa, takut juga kalau dicap yang tidak-tidak serta malu dengan pria yang memanggil Romi barusan.

"Gila lo Rom! Gue udah mau mati kelaperan nunggu pizza, ternyata lo malah sayang-sayangan di sini."

"Gue kan enggak bilang tadi pesenin lo pizza. Lo aja yang ke-geer-an kalau gue buka pintu mau ambil pizza."

Aku ingin kabur saja dari sini. Kubuka mataku dan kutundukan kepala, lalu berjalan perlahan-lahan. Namun, tangan Romi meraih lenganku.

"Mau ke mana?" Romi bertanya dengan nada santai, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Eh, cewek lo mau kabur," cerocos pria yang kuyakini itu adalah Gatra. Diriku yakin dari suaranya. Bagaimana tidak? Cowok berisik itu selalu menggodaku tiap bertemu.

"Ya, gara-gara lo kan, cewek gue jadi ngembek."

"Ya udah, gue pulang aja biar kalian bisa lanjut ngamar."

Sialan! Mulut sampah! Ingin sekali kumenenggelamkan mereka di lautan. Aku sebal dengan Romi yang main nyosor macam bebek dan aku sangat kesal dengan ucapan Gatra yang tidak bisa dikontrol.

"Eh Citra!" pekik Gatra saat ia sudah berada di sampingku. "Anjrit lo, Rom. Gebetan temen lo embat juga. Pantes selama ini gue enggak boleh deket-deket sama Citra. Ternyata lo pacarin juga," terangnya dengan menatap Romi kesal.

"Santai, Bro! Sebenarnya gue sama Citra udah jadian dari lama. Kita backstreet. Ya, enggak Cit?" Romi melirik ke arahku.

Aku ingin sekali bilang enggak, tapi kesannya gampangan kalau kepergok ciuman sama cowok yang bukan pacarnya. Jujur apa yang terjadi juga enggak mungkin, malu-maluin. Akhirnya, aku hanya tersenyum saja.

"Wah, kalian tega sama gue. Kalau tahu kayak gini, gue enggak akan ngejar Citra. Berhubung gue udah tahu, gue akan semakin gencar nikung lo. Sebelum janur kuning melekung, Citra masih bisa gue kejar."

"Emang Citra mau sama lo. Mending lo berhenti dari sekarang aja biar enggak terlalu patah hati. Bentar lagi kita mau married."

"Citra hamil? Gila lo mainnya kurang rapi."

Aku ingin membenturkan kepala ke dinding. Lama-lama mendengar percakapan mereka bisa membuatku gila. Apalagi, mendegar setiap ucapan Gatra yang absurd itu. Ingin kupukul kepalanya agar sekali-sekali bisa bicara dengan benar.

"Kenapa? Lo iri kalau bentar lagi gue mau punya anak kembar."

"Wuihhh ... langsung dua. Okelah, kalau gitu. Gue tunggu Citra jadi janda. Mau punya anak sepuluh dari lo, gue tetep optimis Citra jodoh gue."

Ya Tuhan! Kenapa ada orang seperti Gatra, sudah jelas Romi sarkas. Masih dianggapi ngelantur seperti itu.

"Gat, mending lo pulang sekarang sebelum gue teleponin Garjita buat ngasih tahu soal masalah kemarin."

Garjita? Ada hubungan apa antara Garjita dengan Gatra? Terus Romi juga mengenal Garjita. Jangan-jangan Gatra itu temenan sama Garjita tapi dia suka sama Garjita, terus undangan itu dikasih ke Romi biar menghilangkan jejak. Mungkinkah begitu? Mengingat perilaku Gatra yang aneh.

"Wah lo sukanya ngadu. Oke gue pulang. Titip Citra, ya." Gatra menepuk bahu Romi pelan sebelum pergi.

Aku langsung menatap tajam Romi begitu Gatra pergi.

"Mata kamu sakit, ya?" tanya Romi pura-pura tidak tahu, "btw, thanks udah bantuin ngusir Gatra dari sini."

Tbc..

Udah ada bayangan?

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang