8. Kapan Kita Jadian?

4.3K 647 34
                                    

Aku hanya memandangi makanan yang tertata di meja ruang tamu. Sudah kebiasaanku makan di meja ruang tamu agar bisa lesehan. Tapi, nafsu makanku menghilang begitu saja tadi. Padahal aku yang pilih semua masakan ini. Aku menunjuk asal saat Romi bertanya mau makan apa.

Pikiranku kacau sejak tadi memikirkan apakah Garjita baik-baik saja atau tidak. Aku juga belum sempat minta maaf padanya. Mau menghubunginya melalui telepon tapi takut dan bingung mau bilang apa.

"Cit!" panggil Romi seraya menepuk pahaku lumayan keras yang membuatku meringgis kesakitan.

Kutatap Romi kesal, "Apaan sih, Bang? Sakit tahu."

"Kamu tuh dipanggil dari tadi enggak nyahut," Romi menyubit pipiku, "makanannya keburu dingin," lanjutnya seraya melirik ke makanan di hadapanku.

"Bang, aku enggak nafsu makan."

"Ini semua yang milih kamu. Kamu sendiri yang bilang mau nghabisin makanannya tadi. Pokoknya kamu harus nghabisin ini semua."

Aku melotot seketika memperhatikan banyak makanan yang tersaji. Ada bakso, mie ayam, martabak telur, roti bakar, seblak, sate, ayam kremes, jamur goreng, dan pangsit. Tadi, aku asal tunjuk menu.

"Cit, buka mulutmu," kata Romi yang sudah menyendok bakso.

Aku membuka mulutku dengan perasaan was-was menerima suapan dari Romi.

"Enak, kan?"

Aku mengangguk. Iyalah enak orang belinya di rumah makan yang harganya gila-gilaan, gratis lagi, kan dibayarin Romi. Kalau enggak enak ya pasti aku enggak ngajak Romi ke rumah makan itu.

"Kalau gitu kamu habisin ini semua. Aku suapin deh."

Aku memutar bola mataku seraya mengumpati Romi dalam hati. Bisa-bisanya dia tega denganku. Sok baik mau nyuapin, padahal aslinya mau nyiksa. Nyebelinnya lagi wajahnya kelihatan datar-datar aja, enggak ada ekspresi apa pun. Seolah-olah kalau yang dia lakuin itu biasa aja.

"Bang," aku tersenyum, lalu melingkarkan tanganku di lengan Romi dan meletakkan kepalaku di bahunya, "ngantuk."

"Minum kopi biar melek. Naskah kamu tuh masih banyak yang harus dibahas. Jangan harap bisa tidur awal. "
"Aku capek banget, Bang. Kapan-kapan aja bahas naskahnya. Bang Romi mending pulang sekarang aja mumpung hujannya belum terlalu deras."

"Tenang aja kalau nanti hujannya deras aku nginep sini. Aku enggak punya banyak waktu buat ngurusin naskahmu. Kalau kamu enggak niat nulis, udah pensiun aja jadi novelis."

Aku mendesis. Enak aja dia ngomong gitu. Kalau enggak nulis, terus aku ngapain. Kerjaan yang enggak usah ketemu banyak orang dan bisa dikerjain di mana pun, ya nulis. Bukannya aku introvert ya, tapi aku pernah kerja jadi customer service yang harus ekstra sabar. Padahal aku ini orangnya moody.

"Kasig kerja dong, Bang. Jadi, manajer di kafe atau restoran Abang juga boleh biar aku enggak jadi penulis lagi."

"Kamu mau jadi manajer, ancur jadinya. Kalau di dunia ini masih banyak orang, pasti aku enggak akan mempekerjakan orang kayak kamu. Aplagi di posisi penting."

Ya ampun, omongannya Romi itu terlalu blak-blakan. Sedikitpun enggak ada empatinya ke aku. Tolak secara halus atau gimana. Malah ngomong kayak gitu. Untung aku udah kebal sama omongannya yang suka ngerendahin aku.

"Terima kasih pujiannya. Bang, bisa enggak sih Abang kalau ngomong difilter dikit aja, omongan Abang sering nyakitin tahu enggak."

"Aku emang kayak gini, Cit. Aku kalau ngomong emang gitu. Lebih baik aku ngomong di depan kan, daripada manis-manis, ternyata di belakang beda."

"Nyindir nih. "

"Enggak juga, sih. Aku bukan tipikal orang yang suka nyanjung orang. Bukan juga orang suka ngomong bohong. Kalau aku enggak mau jawab jujur, ya aku diem daripada bohong."

"Ah masak. Kemarin, juga ngibul ke Gatra. Bilang kita pacaran, bilang mau nikah lagi. Jangankan pacaran, temenan akur aja jarang."

"Kita kan emang pacaran, Cit. Dulu waktu kita resmi jadian, kita kan sepakat 2 atau 3 tahun lagi kita bakal nikah. Dan, sekarang waktu yang tepat kan buat ngerancang pernikahan kita."

Anjir! Demi apa pun, aku enggak salah denger, kan. Mana mungkin aku amnesia kalau pernah jadian sama Romi. Aku yakin, pasti dia mengerjaiku. Kutatap matanya, tapi tidak ada kebohongan di sana.

Kupegang dahi Romi buat memastikan panas atau tidak, makanya ngomong ngelantur, tapi suhunya biasa saja, "Bang, bercandanya enggak lucu."

"Aku enggak bercanda. Lupain aja kalau kamu enggak inget. Mungkin aku mabuk berat waktu itu, jadi halusinasi."

Tbc...

Ganteng enggak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ganteng enggak. Ini anakku sama Romi kalau udah besar besok 😂😂

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang