18

3.6K 471 32
                                    

Aku berbalik dan mendapati Romi tengah meringis merasakan rasa sakit. Ia mencoba untuk bangun tetapi tidak bisa dan terjatuh lagi. Kemudian, Gatra yang baru saja sampai di ruang tamu, buru-buru meletakkan baki yang ia bawa di meja, lalu ditolongnya Romi.

"Rom, mana yang sakit?" tanya Gatra seraya memperhatikan kaki Romi setelah Romi duduk kembali di kursi rodanya.

"Semuanya."

"Gue anter lo ke rumah sakit sekarang."

"Enggak perlu, sakit kayak gini udah biasa."

Dering ponsel mengalihkan perhatian Gatra. Lelaki itu segera mengangkat teleponnya dan raut wajahnya menjadi pias seketika.

"Rom, gue harus balik ke kantor. Gue pamit dulu, ya," ujar Gatra seraya memegang pundak Romi, lalu menengok ke arahku, "Cit, aku titip Romi, ya. Jangan kamu apa-apain Romi. Kalian yang akur sebentar lagi jadi orang tua."

Gatra langsung pergi melangkah keluar.

"Orang tua?" Romi menatapku bingung.

"Gatra kan suka ngomong ngawur," sahutku cepat-cepat. Aku tak mau Romi tahu kalau aku tengah mengandung anaknya. Bisa-bisa dia gencar memaksaku untuk menikah dengannya. Mungkin kalau anak ini sudah lahir atau saat hidupku sudah terarah jelas, baru kukasih tahu tentang anak kami.

"Abang ke sini sama siapa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Sopir ayahku, aku tadi ke sini dari Bandung."

"Mana no teleponnya biar aku telepon buat jemput Abang."

"Enggak punya. Aku enggak punya ponsel.

Aku menatapnya tajam. Bisa-bisanya segampang itu mengatakan tidak punya no telepon sopirnya. Kalau begitu dia bisa ke mana kalau kondisinya seperti ini, sementara keluarga lelaki itu di Bandung? Memang selalu merepotkanku.

"Abang sengaja, kan? Emang niat nyusahin aku."

"Kan aku ngira kamu serius mau nikah sama aku. Makanya aku ke sini mau ngajak kamu ke Bandung ketemu keluargaku. Ayahku juga udah ngasih restu dan berharap kita bisa segera menikah."

Aku menepuk dahiku pelan. Bisa-bisanya Romi mengambil keputusan sepihak semacam itu. Seharusnya ia tidak gegabah, berbicara dulu denganku. Dari dulu selalu seenaknya sendiri.

"Ya Tuhan," ujarku seraya menatapnya kesal, "bisa enggak sih Abang tuh sekali aja kalau mau ngelakuin sesuatu itu berunding dulu. "

"Malam itu aku udah ngomong mau ngenalin kamu sama keluargaku. Banyak hal yang udah kuomongin sama kamu dan kamu setuju-setuju aja. Cit, kenapa hanya karena aku pergi enggak pamit langsung, kamu jadi kayak gini? Aku enggak bohong dan enggak selingkuh tapi kenapa kamu enggak mau maafin aku?"

Aku memejamkan mataku sejenak. Pikiranku semakin kacau. Entah kenapa aku sangat kecewa dengan Romi. Rasanya melupakan semua yang telah dia lakukan kepadaku begitu sulit. Kesabaranku menguap begitu saja.

Kalau ditanya apakah aku masih mencintai Romi, jawabanku juga tidak tahu. Aku hanya senang ada di dekatnya dan begitu dia menjauh aku kesal dan gelisah. Bukan sekali, dua kali Romi hilang tanpa kabar, tapi sering sekali. Sebenarnya dia ke mana dan ada masalah apa selama ini? Sampai Gatra juga tidak tahu.

"Tapi, Abang udah sering sekali nyakitin hatiku. Saat aku butuh Bang Romi. Abang enggak ada, kan? Kalau ada pria lain yang jauh lebih baik dari Bang Romi, kenapa aku harus milih Bang Romi?"

"Cit, kasih aku sekali aja kesempatan buat buktiin aku pantas buat jadi suami kamu. Aku tahu, aku sering buat salah tapi aku enggak ada niatan mau nyakitin kamu. Ayo kita mulai dari awal."

"Udahlah, Bang. Abang perbaiki diri Abang aja, terus cari wanita lain yang bisa menerima Bang Romi apa adanya. Yang sangat sabar, enggak kayak aku. Tolong, kalau Abang memang mencintaiku, lepasin aku."

Tbc...

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang