15

3K 430 20
                                    


Sudah satu bulan lebih berlalu, tapi Romi tetap saja tidak bisa dihubungi. Sebenarnya dia ke mana, kenapa tak ada satu pun orang yang kukenal tahu keberadaannya. Gatra saja terheran-heran begitu tahu Romi menjual apartemennya.

Kepalaku pusing setiap memikirkan Romi. Kenapa dia begitu tenang meninggalkanku tanpa kabar. Kalau dia memamg mencintaikiu, seharusnya cepat kembali. Apa malam itu dia hanya berdusta?

"Cit," Garjita menepuk bahuku membuyarkan aku dari lamunan. "Sorry telat," lanjutnya seraya menyodorkan bunga kepadaku.

Aku mengambilnya seraya tersenyum. Makin hari, dia makin manis. Setiap hari, dia mengirimkan kotak sarapan ke apartemenku. Entah dia langsung yang menemuiku atau dikirimkan melalui kurir.

"Tumben telat, lo pasti nyetirnya pakai perasaan. Makanya pelan-pelan. Untung gue lagi baik hati mau nunggu, kalau enggak dah gue tinggal. "
Garjita terkekeh, "Tadi ban mobilku bocor. Aku tadi nyoba telepon kamu tapi ponselmu enggak aktif."

"Aduh gue lupa ngisi baterai tadi. Nih buat lo." Aku menyodorkan bingkisan yang kubawa ke Garjita.

Garjita tersenyum semringah, "Makasih, Cit. Boleh aku buka?"

Garjita membuka kotak cokelat itu, lalu ditatapnya dengan intens, "Cantik, Cit? Kamu bikin sendiri?"

Aku mengangguk, lalu menunjukkan tanganku yang diplester. Ini gara-gara berapa kali tertusuk jarum karena membuat sapu tangan untuk Garjita. Seminggu yang lalu, aku enggak sengaja ngotorin sapu tangannya, lalu kucuci malah kelunturan. Ya sudah, kuganti dengan buatanku, kalau menganti sapu tangan itu persis seperti sebelumnya mana mampu aku membelinya.

"Iya. Bagus, kan? Keren kan gue baru pertama kali bikin langsung cakep."

"Iya, tapi tangan kamu jadi luka gitu karena bikin sapu tangan ini. Aku jadi enggak enak."

"Santai aja, Gar. Lo juga baik kok sama gue. Sering bikinin gue sarapan juga."

"Aku kan emang suka masak, Cit. Kamu kan enggak suka jahit pasti kepaksa."

"Ya udah, sini balikin aja sapu tangannya kalau lo ngerasa bersalah." Aku mengadahkan tangan, tetapi Garjita malah mengenggam tanganku, lalu duduk di sampingku.

"Kan dah dikasih Cit, masa diminta lagi."

"Ngomong-ngomong lo mau ngajak gue ke mana kok gue disuruh dandan?"

Aku penasaran dia mau mengajakku ke mana sampai-sampai mebelikanku gaun seindah ini. Pasti harganya sangat mahal, belum lagi satu set perhiasaan, dan flat shoes yang kukenakan saat ini.

"Jalan-jalan biasa aja. Aku belikan kamu gaun karena kamu sendiri yang bilang kamu bukan enggak suka pakai gaun, tapi enggak punya uang buat beli gaun."

Aku mengingat ucapkanku waktu diajak Garjita ke mall dua minggu lalu. Aku melihat seorang perempuan yang menggunakan gaun panjang, lalu aku menyeletuk kalau perempuan itu sangat cantik. Kemudian, Garjita mengatakan kalau aku lebih cantik darinya. Perempuan itu hanya tertolong make up dan pakaian. Terus aku bergurau, kalau aku kaya pasti juga dandan kayak gitu.

"Aduh, Mas Garjita perhatian banget. Gemes deh," godaku, padahal aku ingin sekali tertawa karena Garjita mengira aku benar-benar suka menggunakan gaun. Padahal, dia paling mengenalku kalau aku lebih suka memakai jeans belel dan kaos. Atau malah dia sengaja membelikanku gaun, kan sebenarnya dia suka perempuan yang modist.

"Kamu enggak suka?" tanyanya dengan raut wajah pias.

"Aduh Garjita Sayang," gemasku seraya mencubit pipinya, "kita udah kenal berapa lama? Masa kamu enggak tahu seleraku."

"Cit, bisa diulang."

"Apanya?"

"Kamu panggil aku apa tadi?"

"Garjita bego, Garjita jelek, Garjita--" Aku memutuskan ucapanku begitu Garjita menarik hidungku. Dulu, saat kami pacaran, dia sering melakukannya karena gemas.

Aku mencoba melepaskan tangannya dan akhirnya terlepas, tetapi tangan Garjita tergerak dengan cepat mengelitiki perutku. Sontak aku kegelian dan tertawa.

"Gar ... lepasin!" teriakku.

"Enggak ah. Kamu sih suka ngomong kasar."

"Alah cuma ngomong bego, Romi aja gue katain berengsek enggak marah." Kontan Garjita menjauhkan tangannya dari perutku.

"Ohh ... tapi aku bukan Romi, Cit. Bukannya aku mau ngatur kamu, tapi kamu kan perempuan nantinya bakal jadi ibu juga. Gimana kalau kebiasaan sampai punya anak, tiap kamu marah, kamu ngomong kasar."

Aku terdiam, bukan karena kesal atau marah. Garjita benar. Itulah kenapa dulu aku bingung, kenapa lelaki ini bisa betah menjadi kekasihku padahal aku suka seenaknya dan sifat Garjita begitu bertolak belakang denganku.

"Iya, Papa Garjita yang ganteng. Ini serius, lho. Bukan bercanda."

"Iya, Mama Citra."

Aku terkekeh.

"Kok ketawa, sih?"

"Lucu aja. Waktu pacaran aja enggak pernah panggil Mama-Papa. Udah jadi mantan, putus lama baru panggil Mama-Papa. Kan gimana gitu, walau cuma bercanda. Gue nggak nyangka lo setelah sekian lama kita enggak ketemu bisa akur gini."

"Kita kan putusnya baik-baik, Cit. Sebenarnya kita enggak pengen putus kan aslinya. Aku tahu walau kamu marah kayak apa waktu itu, tapi sebenarnya kamu enggak mau kan kita pisah."

"Ya, enggaklah. Orang lagi sayang-sayangnya," akuku, "tapi gue kesel sama lo yang bisa pergi gitu aja. Lo tahu, gue dulu pengin mukul lo begitu lo balik ke sini, tapi lo enggak pernah balik waktu libur semester, Gar. Gue kira, gue bisa ketemu lo lagi walau cuma sebentar, nyatanya enggak. Gue sakit hati lo bener-bener ninggalin gue," ceplosku menyampaikan unek-unekku. Meski kelihatan strong dan baik-baik saja, tapi sebenarnya hatiku sakit. Garjita cinta pertamaku, pacaran sama dia membuat hidupku penuh warna karena lelaki ini begitu manis. Walau juga kadang nyebelin, tapi entah kenapa Garjita selalu ngangenin.

"Kan waktu itu aku ngajakin kamu nikah, tapi kamu enggak mau. Ya udah, aku pergi."

"Umur kita baru delapan belas tahun waktu itu, emang nikah gampang apa? Apalagi lo kan pergi ke luar negeri mau sekolah, bukan jalan-jalan."

"Ya enggak. Aku bingung, Cit. Aku kan pengin kamu ikut aku. Dulu aku mikirnya, kalau enggak nikahin kamu terus LDR, takutnya kamu malah kepincut cowok lain."

"Yah, gimana lagi. Kita masih muda waktu itu. Belum tentu juga kalau kamu enggak pergi, kita masih bersama. Bisa jadi kita putus juga. Lebih baik gini kan Gar, jadi temen."

"Temen yang bisa sayang-sayangan, terus akhirnya jadi temen hidup."

"Lo ngarep banget nikah sama gue. Kalau lo ngelamar gue lima tahun yang lalu, langsung gue terima. Giliran udah move on baru balik. Lo sih telat, kalau balik lebih awal enggak kayak gini."

Ya, lima tahun yang lalu, aku masih menyimpan nama Garjita di hatiku. Aku benar-benar melupakan Garjita saat bertemu Romi. Andai lelaki ini kembali sebelum aku mengenal Romi pasti semua tidak akan seperti ini.

"Kenapa enggak kamu coba buka hati kamu buat aku lagi, Cit?"

"Gue bingung, Gar. Gue lagi enggak pengin mencintai siapa pun. Hidup gue rumit dan berantakan. Coba lo pelet gue aja. Gue rela, kok."

"Cit ... Cit, enggak mungkinlah. Sampai kapan pun, aku bakal nunggu kamu selama kamu belum terikat dengan pria lain, aku bakal selalu ada buat kamu."

Aku tersenyum. Mimpi apa aku bisa bertemu pria seperti Garjita. Andai perasaan bisa diawetkan, sudah kuformalin rasa cintaku dulu padanya. Namun, apa daya perasaan yang bisa berubah begitu saja.

"Beri aku waktu satu bulan, Gar. Aku mau berpikir dulu, kalau kita bisa balikan, aku mau langsung menikah. Kalau enggak, tolong lepasin aku. Aku enggak mau kamu semakin terluka gara-gara menungguku tanpa kepastian."

"Oke, Cit."

Bersambung...

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang