6. Bujukan Garjita

4.7K 686 17
                                    

"Masa? Jangan bohong karena cemburu ya, Cit."

"Beneran, Jelek!" Aku jadi ngegas, kan.  Orang lagi badmood diganggu.

"Iya, Cantik," balasnya yang membuatku tambah kesal. Dia selalu begitu kalau aku kesal. Kalau enggak mana mungkin bilang aku cantik. Naasnya, cowok cuma dia doang yang pernah bilang aku cantik. Biasanya pada bilang ganteng. Dulu, rambutku enggak sepanjang ini, tapi kayak cowok.

"Sana, lo pulang aja. Daripada gue pukul karena kesel."

"Kamu kok ngusir aku. Gaga yang punya aja enggak bakal ngusir aku."

Aku menyipitkan mataku. Kafe ini punyanya kakaknya Garcita? Setahuku kafe ini punya orang Bali yang dibeli Gatra karena dia ingin mencoba bisnis kafe seperti yang dimiliki Romi. Sayangnya, kafenya Gatra ini selalu sepi. Mungkin karena mahal. Aku kan kalau ke sini gratis.

"Bukannya punya Gatra? Sejak kapan jadi punya kakak lo?"

"Gatra ya Gaga. Dari kecil dia dipanggil Gaga. Masak kamu enggak tahu?"

Aku mengangguk. Sebenarnya agak kaget. Enggak sepenuhnya kaget, mengingat satu kesamaan Garjita dengan Gatra sama-sama kalau punya keinginan harus bisa tercapai. Oh, ya, warna kulit Gatra juga putih bersih seperti Garjita waktu SMA tapi masih putihan Garjita dulu.

"Enggak tahulah. Gue kan cuma tahunya kakak lo namanya Gaga terus dia tinggal ama bokap lo," terangku mengingat cerita Garjita dulu. Dia tidak menceritakan lebih banyak dan aku enggan bertanya takut salah, malah nyeplos kenapa mereka enggak tinggal bersama. Padahal, aku sudah mendengar dari gosip para penggemarnya kalau orang tua mantan kekasihku ini berpisah karena ayah Garjita selingkuh.

"Kamu kok bisa kenal Gatra?"

"Dia temennya temen gue. Ya gitu, deh. Btw, kakak lo bikin gue stres. Dia yang gila, gue yang repot."

"Huh?"

"Kakak lo ngejar-ngejar gue mulu," aduku pada Garjita. Bodo amat, statusnya Garjita itu mantanku sekaligus adiknya Gatra yang penting unek-unekku keluar semua. Toh, dari dulu aku sering curhat dengannya sekalipun waktu kami putus. Ya, dulu aku pacaran sama dia putus nyambung tapi cuma statusnya aja yang putus, soalnya dia masih nempel di sisiku.

"Terus?"

Aku mendelik, "Ya terus gue menghindar lah ya, kalau dia mulai ngomong ngelantur. Bilangin ke kakak lo jangan ganggu gue, soalnya bentar lagi gue mau nikah."

"Kamu mau nikah? Sama siapa?" Bukannya mengiyakan permintaanku, malah tanya begitu. Dia terlihat begitu tidak percaya. Dikiranya aku sebegitu tak lakunya apa, sampai melihatku dengan tatapan yang membuatku kesal. Begini-begini pernah ada yang melamarku.

"Sama cowok gue lah. Gue kan pacaran udah bertahun-tahun tapi backstreet. Nanti gue undang lo ke acara pernikahan gue, deh. Tapi, jangan ajak Gatra kalau dia mau ngerusak acara pernikahan gue."

"Ohh ... kalau kamu emang bener punya calon suami. Pasti dia bego banget."

Aku yang tengah meminum sisa tiramisu yang diminum Garjita tadi hampir tersedak. Apa-apaan ini? Dia ingin menghinaku. Ingin sekali kukatakan banyak kata laknat untuk mengutuknya. Kalau lelaki yang mau menikahiku sekarang bego, terus dia apa? Dulu dia begitu sinting, begitu lulus SMA malah mengajakku menikah yang mengakibatkan aku dengannya putus karena terus berdebat. Setelah itu, Garjita menghilang.

"Lo kalau ngomong dijaga, ya. Jangan mentang-mentang lo ganteng, lo bisa ngehina gue."

"Tenang, dulu Cit. Maksudku, dia bego banget kalau ngajakin kamu backstreet dan baru ngajakin kamu nikah sekarang. Jadi, jangan salahin Gatra kalau dia gencar ndeketin kamu," terang Garjita dengan raut wajah kesal. Yang membuatku bingung seketika. Dia kok malah jadi kesal, kan aneh.

"Kamu ini cantik Cit jadi enggak heran kalau banyak yang suka sama kamu. Seharusnya pacarmu itu hati-hati, bukan malah backstreet. Kalau ada cowok yang ngejar kamu, ya salahin aja pacarmu."

"Gue aja nyantai, lo kok kayaknya sewot."

"Aku peduli sama kamu, Cit. Mending kamu putusin cowokmu. Dia enggak niat njalanin hubungan sama kamu. Aku yakin cowok di luar sana banyak yang mau sama kamu."

"Lo kira gampang nyari cowok. Lo yang ganteng aja jomlo!"

"Ya udah, kita balikan aja."

Sumpah, aku ingin membenturkan kepala Garjita. Bisa-bisanya dia bilang begitu, padahal tadi minta dijodohkan dengan Nanda. Apa sih isi otaknya?

"Tadi, lo pengen PDKT sama Nanda."

"Kata kamu enggak boleh. Ya udah, aku kasih win win solution yang menguntungkan buat kita berdua. Lagian kata kamu aku bukan tipenya Nanda, tapi aku tipe kamu banget, kan?"

Tipeku? Dari mana? Aku mau pacaran dengan dia alasannya karena dulu dia rajin membantuku mengerjakan PR. Otaknya Garjita kalau pelajaran itu encer banget. Terus aku juga dapat tebengan gratis, walau kadang aku yang nyetir mobilnya. Aku juga enggak pernah keluar uang buat jajan, kan dia yang bayarin. Oh ya, jangan lupa Garcita suka masak dan aku bisa makan masakan buatannya. Selain itu, kalau aku kesal Garcita jadi bahan pelampiasan amukanku dan dia enggak marah kalau dia kesal sama aku emang dibalas balik, sih, tapi enggak sekejam perlakuanku padanya.

"Tipe dari mana, Jit? Lo mah bukan tipe gue banget malah."

"Kamu enggak suka cowok yang kulitnya lebih terang dari kamu. Kamu suka cowok yang bisa gambar, aku udah belajar gambar sih walau biasa aja tapi enggak seancur dulu. Kamu suka cowok yang enggak kurus kayak lidi. Aku udah masuk, kan?"

Aku menatapnya dari atas ke bawah. Soal fisik, iya sih. Tapi, itu bukan patokan untuk menjadi pasangan hidupku.

"Gila, lo."

"Cuma bercanda, Cit. Aku tahu dirilah. Kita emang cocoknya jadi temen."

"Heemm."

"Kapan-kapan main bareng, Cit. Ke mana gitu atau mau main ke apartemenku, nanti kumasakin banyak makanan favoritmu. Mumpung kamu belum nikah."

Aku menatapnya curiga. Sebagai pengenal hukum take and give. Aku percaya kebaikan seseorang yang tiba-tiba pasti terselip niat terselubung.

"Oke, gimana kalau lusa kita jalan. Lo free enggak?" Aku punya rencana untuk mengerjainya.

"Sesibuk apa pun, buat kamu kapan aja aku free."

Bersambung...

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang