9.

4.2K 574 13
                                    

"Bang, jangan ngambek. Aku bener-bener enggak inget. Kan bisa jelasin baik-baik."

"Udah lupain, aku cuma asal ngomong. Ya kali aku mau jadian sama kamu yang sering nyusahin."

Aku mendengus. Diriku yakin tadi Romi tidak asal bicara menilik karakternya yang selalu serius. Mungkin aku lupa ingatan atau aku kena hipnotis jadi melupakan peristiwa penting kami resmi berpacaran. Bisa jadi, kan? Harusnya dia menjelaskan, kan lumayan kalau memang kami jadian. Siapa yang enggak mau punya cowok kayak Romi mapan, tampan, enggak suka main perempuan.

"Udah sana habisin makanannya," perintahnya.

"Abang juga makan, dong. Kalau aku sendiri yang makan enggak habislah," pintaku seraya menyendok bakso untuk menyuapinya. Namun, Romi malah menjauh dariku, enggan makan.

"Bang," rengekku persis anak kecil, "makan, dong. Harusnya Abang bersyukur disuapin cewek secantik aku."

Bodo amat, dibilang narsis atau apa. Kalau bukan aku sendiri yang memuji diriku siapa? Palingan Garjita. Kalau Garjita itu memujiku karena kasihan atau takut aku marah, aku kan enggak tahu. Kalau diriku sendiri ya pasti tulus.

"Kalau kamu cantik, terus yang jelek kayak apa."

Aku ingin memukul kepala Romi. Kenapa dia begitu, sih. Sekali-kali bohong kenapa kalau aku cantik. Menurut standar cantik perempuan lokal Indonesia, aku ini termasuk cantik lho. Dia aja yang enggak tahu definisi cantik.

"Mungkin karena aku jarang dandan, jadi Abang enggak menyadari kearifan lokal yang cetar membahana. Nanti kalau aku dandan terus jadi cantik, Abang kalau jatuh cinta sama aku bakal kutolak." Aku tersenyum sinis, sebelum memakan bakso yang tadi mau kusuapkan ke Romi.

"Aku bukan tipikal cowok yang bakal jatuh cinta sama cewek karena cantik. Lagian cewek yang jago main di ranjang lebih menarik."

Aku langsung tersedak seketika mendengar jawaban Romi. Ini seperti bukan Romi. Kalau Gatra aku enggak mungkin sekaget ini.

Aku hendak mengambil minum teh yang ada di meja, tapi Romi langsung mengambilnya dan parahnya bukan diberikan padaku tapi dia minum sendiri. Mau tak mau, aku terpaksa menuang wine beralkohol yang ada di hadapanku ke gelas yang dipakai Romi minum tadi dan meneguknya. Tidak mungkin kan aku berlari ke dapur dulu untuk minum disituasi segenting ini.

"Hei, kamu kok malah minum wine-ku. Itu kadar alkoholnya 16 %. Kamu yang enggak biasa minum bisa langsung mabok," peringatnya.

Kupikir Romi akan minta maaf, tapi malah kalimat itu yang membuatku jengkel. Kalau dia tahu minuman yang dibawanya kemari bisa membuatku mabuk, tak seharusnya dirinya membiarkanku meminumnya. Memang sih Romi tidak menawarkan wine itu untukku, tapi kan gara-gara dia aku meminumnya. Lagipula, dia juga tahu aku tidak bersahabat dengan alkohol. Namun, memang dasarnya Romi yang tegaan.

"Kalau kamu mabuk, terus ngelakuin hal gila lagi. Kamu pasti bakal nyalahin aku lagi kayak dua tahun lalu."

Romi masih ingat saja. Susah payah aku mencoba melupakan malam itu. Di mana aku marah dengan Romi dan menjauhi Romi sepanjang pesta, lalu bertemu pria asing yang memberikanku minuman. Kemudian paginya, aku enggak ingat apa pun. Kecuali belaian tangan lelaki asing itu di pipiku.

Aku begitu syok saat bangun kala itu. Begitu terbangun, aku melihat bercak kemerahan keungungan di dadaku karena gaun yang kukenakan bebelahan rendah tetapi waktu ke pesta tertutupi dengan bolero berkancing, tapi bolero itu entah berada di mana saat aku bangun. Aku makin kaget saat menyadari bahwa aku tidak sendirian di kamar itu, ada Romi di sampingku.

Air mataku langsung mengalir dengan berbagai spekulasi. Aku yang tidak mengingat apa pun, hanya bisa berpikir Romi menyaksikanku sedang berbuat yang tidak-tidak dengan pria asing itu di tempat umum. Perasaanku hancur seketika, harapanku bisa bersama Romi semakin tipis, bahkan tidak ada sama sekali.

Pagi itu diriku langsung bergegas meninggalkan kamar hotel sebelum Romi bangun. Aku tidak punya keberanian berbicara dengannya. Semua perkataannya sebelum kejadian di pesta saat kami bertengkar terus terngiang-ngiang dan benar apa yang dikatakannya. Aku memang perempuan yang ceroboh, tidak bisa diandalkan dalam hal apa pun, tidak berguna yang hanya bisa menyusahkan orang lain.

Selepas itu sekitar seminggu, aku menghindar dari Romi. Mengabaikan semua permintaan maafnya dan membiarkannya berdiri di depan apartemenku berjam-jam. Itu bukan sepenuhnya salah Romi tapi salahku juga yang tidak mendengar perkataannya dan ceroboh menerima minuman dari sembarangan orang. Namun, begitu bertemu Romi aku langsung memakinya dan menyalahkan apa yang terjadi padaku karenanya, untuk menutupi rasa maluku.

Semenjak itu pula, aku belajar untuk tidak mencintai Romi. Aku tahu sampai kapan pun cintaku tidak terbalas. Nantinya, hanya aku yang terluka kalau masih mencoba mendapatkan kasihnya.

"Cit, kamu nangis?" tanya Romi yang membuyarkan lamunanku.

"Enggak, kok," bantahku.

Romi langsung mengusap air mataku dengan ibu jarinya, "Udah besar jangan cengeng, dong. Cuma disuruh makan, kok. Ya udah, biar aku yang habisin makanannya."

"Terus aja gitu, Bang," kesalku padanya yang sebenarnya tahu aku sedih kenapa, tapi suka pura-pura tidak tahu aku kenapa, "padahal Abang tahu kalau aku sering kesel, sedih juga gara-gara Abang yang enggak pernah ngehargain aku."

"Kalau aku enggak ngehargain kamu. Mana mungkin aku ada di sini sekarang. Kalau aku enggak ngehargain kamu, mana mungkin aku selalu nurutin permintaan kamu yang aneh-aneh. Walau aku sering bilang enggak, tapi aku akhirnya setuju sama  permintaan kamu. Bukan aku Cit yang enggak bisa ngerhagiin, tapi kamu yang enggak pernah ngehargain pengorbananku buat kamu."

Aku tersenyum masam. Romi selalu bisa memutar balikkan keadaan. Percuma mengungkapkan keluh kesahku langsung kepadanya. Pada akhirnya, hanya aku yang salah, bukan dia.

"Aku pamit, Cit. Kita bahas naskah kamu lain kali aja."

"Abang, selalu gitu. Suka pergi seenaknya. Bisa enggak sih jangan pergi dulu sebelum semua masalah selesai!" teriakku yang tidak dihiraukannya.

Bersambung...

Sekarang kalian punya bayangan enggak Romi sama Citra emang pernah jadian atau enggak?

Harusnya saat baca part ini udah ada pencerahan, Romi ngibul apa serius 😂😂

Kuy, ada yang mau beli PDF karyaku enggak. 1 pdf 25 ribu, kalau 100 ribu 5 (RD, RH, Kirana, UC, sama RW) buat beli kuota kalau pakai pulsa tambah 5 ribu per judul. Wa ke 087825497438 😬😬

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang