11. Tanda Tanya

3.5K 530 16
                                    

Aku mencoba beberapa gaun milik sepupuku, tapi sayangnya kebanyakan berbelahan dada rendah dan terbuka. Makanya, waktu pesta topeng waktu itu aku menggunakan gaun sewaan, bukan meminjam milik sepupuku yang jelas banyak sekali gaun indah dan mahal. Bukannya gaun-gaun ini tidak cocok dengan tubuhku, tetapi aku tidak suka dengan modelnya yang terlalu mengekspos lekuk tubuh.

Akhirnya aku memilih gaun merah muda selutut tanpa lengan yang akan kukenakan besok saat bertemu Garjita. Kupikir gaun ini yang paling mending daripada gaun yang lain. Diriku tidak mau terlihat berlebihan saat menemui Garjita besok, bisa-bisa dia menyalahartikan penampilanku yang sengaja berdandan untuknya.

Suara bel apartemen membuatku mengernyit. Siapa yang bertamu malam-malam seperti ini? Tidak mungkin kan sepupuku yang menetap di Paris kembali lagi kemari tanpa menghubungiku. Apa mungkin Garjita? Dia kan suka kayak jelangkung, muncul tiba-tiba.

Aku bergegas membuka pintu dan terlihatlah Romi yang tengah menelpon, "Abang ngapain malam-malam kemari?" tanyaku tanpa basa-basi setelah lelaki itu memasukkan ponselnya ke saku.

"Mau numpang tidur di sini," jawabnya santai seraya menarik gagang koper.

Aku yang tersadar, sontak melotot, "Ngapain? Terus pakai koper segala, emang mau pindahan? Kayak orang baru kena usir aja."

"Apartemenku lagi direnovasi. Ceritanya panjang, biarin aku masuk dulu kenapa?"

"Enggak mau. Pulang sana. Aku juga masih marah ya sama Bang Romi."

Enak saja dia mau numpang di apartemenku. Dikiranya penampungan apa? Coba kalau aku yang enggak punya tempat tinggal, mau menginap sehari di apartemennya otomatis enggak diperbolehin, dia pasti langsung tutup pintu dengan wajah dingin.

Romi mengeluarkan dompetnya, lalu memberiku salah satu kartu debitnya.

"Nih ambil, pinnya tanggal terakhir aku nerbitin cerita. Itu mutasinya ada 187 juta kalau enggak salah." Romi membuka telapak tanganku, lalu menaruh kartu debitnya di telapak tanganku.

Aduh ini ceritanya dia nyogok? Tawaran yang enggak mungkin dilewatin, tapi aku enggak mungkin nerima gitu aja. Gengsi.

"Ogah, ambil aja. Biarpun miskin aku enggak bisa disogok gitu aja," tolakku seraya menyodorkan kartunya kembali, tetapi tidak dihiraukan. Romi malah menangkup kedua pipiku, kemudian menciumku yang membuatku terkejut. Sontak aku mendorong dadanya.

Romi ini makin hari makin sinting. Semakin lama, semakin aku tidak mengenalnya. Entah apa yang membuatnya seperti ini.

"Rom, lo bego atau sinting? Main cium sembarangan di tempat umum yang ada CCTV-nya lagi," kesalku tanpa embel-embel "abang" lagi, dia kalau dibiarkan semakin semena-mena. Lama-lama siapa yang tahan jadi temannya kalau suka seenaknya sendiri.

"Kalau kamu enggak mau dicium sembarangan di tempat umum. Biarin aku masuk."

"Kok maksa, sih? Pulang sekarang atau mau aku panggilin security?"

Romi tidak menghiraukan ucapanku, "Di dalam ada siapa? Kok aku enggak boleh masuk. Tumben kamu pakai gaun, dandan juga."

"Enggak ada siapa-siapa. Udah sana pulang."

"Kamu habis kencan?"

Aku tidak menghiraukan ucapannya, langsung membuka pintu apartemenku tapi tanganku ditarik Romi.

"Cit, biarin aku nginap di sini. Nanti aku bantuin cari kerja."

"Ogah."

Mau dia mohon seperti apa pun kalau tidak minta maaf atas semua perlakuannya kepadaku, enggak bakal aku baik lagi sama dia kayak biasanya.

"Ya udah kalau enggak boleh. Citra kan kejam, enggak kayak Nanda calon istrinya Garjita yang baik."

Pupil mataku membesar seketika. Aku enggak salah dengar kan kalau Romi membahas Nanda. Jangan-jangan dia tahu kalau aku itu Nanda.

"Eh Garjita udah punya calon istri? Yah telat nih, baru aja mau PDKT. Gagal dong punya pacar super star," ujarku pura-pura tidak tahu.

"Iya, calon istrinya jago ngibul. Parahnya calon istri Garjita ini sebenarnya udah punya cowok tapi enggak diakui. Padahal mainnya udah jauh sama pacarnya. Kasihan kan Garjita?"

Apa-apaan ini? Romi kok ngomong ngawur. Sejak kapan aku punya pacar? Dia ini sengaja atau sebenarnya Nanda yang lain yang dimaksud Romi.

"Bang, kalau ngomong hati-hati. Nanti jatuhnya fitnah loh."

"Enggak percaya? Aku punya videonya Nanda main sama cowoknya. Kalau kamu mau nonton, bisa kukasih."

Anjay! Dia mau menakuti kok sampai segitunya.

"Wajahnya Nanda mirip banget kayak kamu lo, Cit. Aku sempat ngira itu kamu. Kalau dia enggak mirip kamu, udah kusebar videonya biar tahu rasa. Takutnya itu, nanti dikira kamu yang ada di video."

"Serius, nih? Jangan ngibul. Abang delusi lagi kali."

"Aku enggak bohong, ya. Aku bukan Citra Megananda yang suka bohong. Apa kukirim aja videonya ke Garjita, nanti kamu tanya itu yang di video beneran Nanda apa bukan."

Aku menatapnya penuh selidik. Sayangnya enggak kutemuin satu pun pertanda kalau Romi lagi berusaha berbohong. Sebenarnya apa saja yang diketahui Romi tentang kebohonganku. Sepertinya dia tahu banyak, tetapi aku masih tidak memiliki petunjuk tentang surat undangan khusus Garjita dan siapa itu Rose.

"Terserahlah, Bang. Aku mau tidur. Sana pulang."

"Cit, jangan-jangan yang di video bukan Nanda tapi kamu. Jangan-jangan aku yang salah duga."

"Enak aja! Aku enggak kayak gitu, ya."

"Yakin? Dipikir dulu siapa tahu kamu pernah ngelakuin tapi lupa. Kamu kan suka banget ngelupain sesuatu. Diinget dulu, nanti udah kukirim ke Garjita kan tahunya itu kamu malah jadi masalah buat kamu."

Aku takut kalau yang dimaksud video oleh Romi adalah rekaman dari peristiwa yang sangat tidak kuharapkan dua tahun yang lalu. Hanya peristiwa itu yang memungkinkan. Kalau memang benar iya, aku harap pria berengsek itu tidak punya salinannya, hanya Romi saja.

"To the point aja kalau Abang tahu tentang Nanda siapa dan langsung ngomong aja itu video apa yang Abang maksud. Kapan, di mana?"

"Di dunia ini enggak ada yang gratis. Biarin aku masuk, nanti kuceritain apa yang mau kamu tanyain."

"Ok, fine."

Tbc...

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang