16. Hamil?

4K 514 30
                                    

Kepalaku terasa pusing, sudah berapa kali kumuntahkan apa yang masuk ke lambung. Ini tidak seperti biasanya, diriku hanya mengkonsumsi makanan yang kusukai, semua yang manis-manis. Ini kiriman dari kafe milik Gatra, tetapi semua malah tertolak oleh lambungku.

Aneh, kalau kata lirik lagu sungguh aneh tapi nyata. Bahkan aku juga mual dengan pengharum ruangan kamar mandiku. Makanya kusemprot dinding kamar mandiku tadi menggunakan parfum Romi yang tertinggal--malah menyejukkan.

Bel apartemenku berbunyi, mengalihkan perhatian. Siapa yang datang di saat gerimis sore seperti ini. Mungkinkah Garjita? Tapi, dia kemarin pamit ke luar kota. Atau mungkin si setan Romi? Dia sudah kena hidayah, lalu kemari.

Kubuka pintu apartemen dengan raut wajah takjub. Terlihat wajah Gatra yang tampak pias. Dia langsung memegang kedua lenganku, menatapku dengan saksama.

"Gimana kondisi kamu? Kamu enggak sekarat kan karena keracunan?" tanyanya cemas.

"Enggak kok, Mas," aku menggeleng. "Ayo, masuk dulu. Bicara di dalam," ajakku padanya yang langsung dibalas anggukan.

Aku enggak nyangka kalau Gatra langsung ke sini, setelah aku menjawab teleponnya dan menanyakan apa makanan di kafenya menggunakan resep yang berbeda. Dia mengatakan tidak ada inovasi sama sekali dan kokinya masih sama. Kemudian, aku menjelaskan mungkin aku tidak enak badan jadi langsung muntah begitu memakan berapa suap.

"Cit, serius kamu enggak kenapa-napa? Kalau ada apa-apa ngomong aja. Gimanapun kita udah kayak keluarga."

"Iya, serius. Cuma mual-mual doang. Udah beberapa hari ini kayak gini. Mungkin perubahan cuaca."

"Cuaca dari kemarin masih sama, kok.  Kalau kamu sakit, ayo aku antar kamu ke dokter. Selain Romi, cuma kamu teman baikku. Aku enggak mau kamu kenapa-napa. Kita bertiga udah kayak kembar dempet, satu terluka, terluka semua."

Aku mengernyit. Apa lagi itu maksudnya kembar dempet? Gatra selalu ngomong asal, bahasanya aneh mulu. Seharusnya aku tidak memberi tahunya kalau aku muntah setelah memakan masakan kafenya. Dia pasti sangat berlebihan menanggapi hal ini.

"Udah deh, Mas. Paling besok juga langsung sembuh. Mas enggak usah terlalu mikirin hal ini, nanti malah jadi beban pikiran, terus Mas Gatra malah sakit."

"Enggak kok, Cit. Ayo ke dokter. Aku anterin. Kamu harus sehat, cukup hatiku aja yang sakit. Sakit menerima kenyataan kamu milik Romi." Gatra memegang dadanya dengan raut wajah sendu.

Mulai lagi kan, dia. Gatra sampai kapan sih kayak gini terus. Udah tua juga kayak ABG.

"Mas Gatra mau minum apa?" tanyaku mengalihkan pembicaraannya.

"Dek Citra enggak usah repot-repot. Mending ikut Mas ke klinik buat check up," bujuknya dengan nada lembut.

"Males, ah. Mending dokternya aja yang panggil ke sini. Mas Gatra pasti punya dokter pribadi, kan? Nah suruh ke sini aja."

"Iya, aku kirim pesan dulu, ya," Gatra mengambil ponsel dari sakunya, lalu mengirimkan pesan ke dokter pribadinya.

Aku mengangguk, "Mas Gatra kalau sama Garjita deket banget enggak, sih?"

"Ya, gitulah. Enggak sedeket sama Romi. Kenapa?"

"Enggak pa-pa. Cuma mau tanya aja Garjita itu orangnya gimana menurut Mas Gatra?"

Gatra menyipitkan matanya. Ia menatapku penuh selidik, "Jangan-jangan kamu--" Gatra mengantungkan kalimatnya seraya menunjukku.

"Apa?"

"Kamu suka Garjita, ya."

"Kalau iya kenapa? Garjita kan baik."

"Yang baik belum tentu yang terbaik. Inget Cit, kamu udah punya cowok. Romi biar kampret begitu tapi dia sayang banget sama kamu. Aku yakin dia pasti balik."

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang