3. Romi

5.6K 802 11
                                    

Malam-malam begini kusempatkan untuk mengunjungi apartemen Romi karena lelaki itu sulit dihubungi sejak kemarin. Tak lupa kubawa beberapa cup cake buatanku yang entah rasanya enak atau tidak karena bahan buatannya kukurangi, maklum aku pengangguran yang kadang kerja kalau ada pesanan menggambar atau mendesain logo, kover, dan sejenisnya.

Dari tadi pintu tak kunjung terbuka, ingin sekali kudobrak, sayangnya aku tak punya kekuatan super. Jadi, hanya  kupanjatkan doa dalam hati agar lelaki itu mau membukanya. Benar saja beberapa menit kemudian, suara derit pintu terbuka--menampakkan Romi yang memakai jubah mandi dan rambutnya masih basah. Mungkin ia terburu-buru membuka pintu.

"Kenapa?" Satu kata itu yang langsung keluar dari mulut Romi, tidak ada kata basa-basi.

Aku memasang senyum seraya menyodorkan tas plastik berisi cup cake untuk Romi. Abang editor ini malah mengernyit, lalu menatapku ragu. Membuat kesal saja.

"Ini cup cake. Bang Romi kan suka makan cup cake. Aku bikin sendiri, lho," terangku masih mencoba tersenyum. Padahal aku kesal dan ingin memakinya karena kejadian kemarin di pesta.

"Sok tahu," jawabnya dengan nada dingin yang membuatku ingin menjambak rambutnya. Seharusnya bilang terima kasih atau apa sebagai sopan santun, ini malah bilang kayak gitu.

"Sama-sama, Abang Ganteng yang baik," tekanku pada dua kata terakhir sebagai sindiran. "Diambil, ya."

Romi mengambil cup cake, "Udah. Sana pulang!"

"Eh ... ada yang mau aku bicarain, Bang."

"Ini udah malam, mending kamu pulang sana. Biar gimanapun kamu itu perempuan."

Aku tidak mau pulang sebelum Romi menjelaskan mengenai undangan pesta dan pengagum rahasia Garjita. Diriku harus tahu kejelasan itu.

Romi berbalik hendak memasuki apartemennya, tetapi aku menubruknya begitu ia memmbuka pintu agar bisa masuk ke dalam. Tidak peduli dicap urakan atau tidak sopan.

"Citra," desisnya.

"Cantik," lanjutku seraya terus melangkah.

Aku duduk di sofa ruang tamu, seraya memeperhatikan tatanan buku di atas meja. Aku baru sadar kalau ternyata itu novel karya Romi, sebelum ia sukses menjadi editor. Dulunya, Romi ini adalah novelis best seller, banyak sutradara yang ingin mengangkat cerita buatannya menjadi film, tetapi hanya ada dua sutradara yang berhasil membujuk Romi.

Seingatku Romi berhenti menulis setelah penayangan perdana film dari naskah keduanya. Dia merasa kecewa dengan sang sutradara yang membuat ceritanya melenceng lumayan jauh ketika diangkat ke layar lebar. Saking kecewa, dirinya tidak mau menerima royalti sepeserpun dari film itu dan menyumbangkannya ke yayasan. Semenjak itu, sifatnya menjadi seperti ini.

Tanganku mengepai novel berjudul "Hampa". Novel ini adalah karya pertama kali dan satu-satunya buatan Romi yang kubaca. Dulu, aku penasaran, lalu kubeli novel fisiknya dan ternyata yang dikatakan orang benar. Karangan buatan Romi memang menguras air mata. Dia piawai menceritakan kerasnya kehidupan.

"Bang, enggak pengen nulis cerita lagi gitu?" Aku melirik ke arah Romi yang sudah berdiri di dekat sofa dengan melipat kedua tangannya.

"Buat apa?"

Aku hanya menyebikkan bibir.

"Aku enggak punya alasan buat nulis cerita."

"Berarti dulu ada? Dulu, alasan nulisnya apa?" Aku menatapnya penuh antusias.

"Yang pasti alesannya enggak sama kayak kamu," cibirnya dengan raut wajah meremehkan, "kamu nulis karena uang, kan?"

Dia mau bilang aku mata duitan apa bagaimana? Ya, itu salah satunya alasanku menulis, tapi ya enggak gitu juga. Munafik kalau author enggak suka karyanya dibukukan, terus dijual dan mendapatkan uang. Bikin cerita kan juga mikir keras, nghabisin waktu, butuh riset juga yang keluar duit. Belum lagi, harus tahan banting kalau karyanya dihujat. Bahkan uang yang didapat enggak sepadan sama apa yang telah dikorbankan.

Mungkin ada sebagian orang yang terlahir kaya raya dan kehidupannya bebas kayak Romi yang menulis sebagai hobi atau apalah. Kalau misalnya mau membukukan lewat jalur SP pun enggak usah khawatir rugi karena buang duit buat biayanya kayak beli tisu buat lap ingus. Well, enggak semua orang seberuntung itu waktu jual karyanya langsung cuan. Banyak yang rugi juga, makanya waktu nerbitin di naskah berikutnya teknik pemasaran kelihatan banget. Kayak ngejar target, ya itu buat nutupin kerugian yang sebelumnya.

"Emang salah, ya? Abang mah enak nerbitin langsung mayor dan best seller. Yang lewat SP kayak aku, jalannya enggak mesti mulus. Dulu, aku pernah ditipu, pernah buku cetakannya enggak memenuhi standar terus cetul, buku enggak laku, dan ekspidisinya nyasar. Rugi jutaan, terus aku break nulis karena merasa enggak guna." Aku menjeda ucapanku, lalu mengingat kembali masa sulitku.

"Begitu balik bikin cerita, aku punya harapan kalau bukuku bisa laku keras dan mendatangkan banyak uang. Sakit, kalau inget tuh. Dulu, aku sering diledekin sama temen, terutama yang author karena bukuku enggak laku, padahal yang baca banyak di wordpress."

"Aku enggak bilang salah kalau nulis buat dapat uang," suara Romi terdengar lembut, lebih bersahabat dari tadi, "aku cuma bilang alesan kita bikin cerita beda. Aku hanya ingin menulis cerita untuk didengar dan dimengerti tapi ternyata itu salah."

Aku hanya berdeham.

"Walau aku nulis banyak kisah pun, tetap percuma yang hatinya beku enggak akan mencair. Itu terbukti dari mereka yang memfilmkan novelku melenceng dari isi."

Aku mengangguk. Meski aku enggak begitu paham sama jalan pikiran Romi. Yang kutahu cuma satu, dia menulis dengan setulus hati. Aku dapat merasakan di setiap kalimat yang tertera dalam novelnya.

"Bang, jangan sedih. Nanti aku juga ikut sedih," kataku memasang raut wajah memelas.

"Apaan, sih?" Romi mencubit pipiku.

"Sakit, Bang."

"Ngomong-ngomong kamu ke sini mau ngomongin apa?"

"Kemarin Bang Romi ke mana kok enggak dateng di pesta."

"Aku dateng, ya. Kamu aja yang keasyikan pacaran sampai enggak sadar kalau aku di sana."

Tbc.. 

Gimana, teman2?
Udah ada bayangan belum

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang