7. Lupa Dengan Garjita

4.6K 631 69
                                    

Kukasih bonus foto biar melek. Tapi, jangan gondol Romi, ya. Romi is mine.

####

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

####

Kutopang daguku menatap Romi yang  serius membaca draft naskahku seraya mengomentari isinya. Dia kelihatan tampan banget dengan balutan kemeja abu-abu. Coba kalau senyum sedetik aja pasti tambah cakep. Sayang pelit senyum, raut wajahnya selalu datar.

"Cit, kamu dengerin enggak sih?" tanya Romi membuyarkan lamunanku.

"Apa, Bang?"

"Kamu serius enggak sih mau memperbaiki tulisan kamu? Kalau kayak gini terus skill menulismu kapan berkembang."

Aku memberengut, "Gimana lagi Bang, aku emang enggak bakat nulis romance. Lagian jomlo kok disuruh nulis romance."

"Enggak ada yang nyuruh kamu nulis romance. Aku kan cuma bilang kalau yang laku di pasaran sekarang genre romance."

Pinter banget ngelesnya. Kan dia yang bilang kalau aku mau nerbitkan karya lagi harus laku di pasaran  biar penerbitan enggak rugi. Jadi, jangan asal bikin. Bikin cerita yang pasti disukai pembaca aja, jangan yang aneh-aneh. Secara enggak langsung dia nyuruh aku nulis sesuai pasar.

"Ya, deh. Bang, cari makan yuk," ajakku yang baru sarapan aja tadi pagi. Siang belum sempat makan dan sekarang udah setengah sembilan malam. Perutku sudah tak kuasa menahan lapar.

"Kamu emangnya enggak masak?"

Sejak kapan memasak menjadi kewajiban harianku. Tentu saja hari ini enggak mungkin aku masak. Aku masak kalau mau aja dan itu pun rasanya dipertanyakan. Toh yang makan cuma diriku, jadi lebih baik beli saja.

"Enggaklah, Bang."

"Kalau ngundang orang itu harusnya kamu masak."

Aku menyipitkan mataku. Sejak kapan ngajakin tamu ke rumah harus masak. Beli kan bisa. Di mata Romi, aku mah selalu salah. Padahal kan harusnya aku yang selalu benar karena aku perempuan.

"Aku enggak mau ambil risiko kalau ada yang keracunan karena masakanku," kilahku.

"Buktinya setelah aku makan cup cake kamu sehat-sehat aja."

Ya jelaslah masih sehat, emangnya aku kasih racun. Walau kemampuan memasakku dipertanyakan tapi tidak mungkin sampai membuat orang keracunan, kecuali aku menaruh racun di sana.

"Tapi enggak enak, kan?"

"According to you?" Romi tidak menjawab pertanyaanku, malah membalikkan pertanyaan. Aku kan mau tahu menurutnya cup cake buatanku seperti apa rasnya di lidah Romi.

"Ya udah," balasku tidak mau memberi pernyataan, "Bang, ayo keluar beli makanan," bujukku seraya menarik lengannya.

Romi berdeham, lalu mematikan laptop. Setelahnya berdiri mengikuti langkah kakiku.

Aku membuka pintu apartemen dengan semringah membayangkan makanan enak apa saja yang akan kumakan. Beberapa hari ini, aku hanya makan kerupuk, sambal teri, dan mie. Makanya mumpung ada kesempatan mengajak Romi makan, aku mau memesan banyak makanan karena lelaki itu pasti yang akan membayarnya.

Mataku melotot seketika begitu menengok ke arah utara--terlihat sosok Garjita yang tak jauh dari tempatku berdiri. Yang membuatku terkejut adalah pakaiannya basah, malahan seluruh tubuhnya basah. Wajahnya tampak pucat sekali.

Aku melangkah mendekat ke tempat Garjita berdiri. "Gar, lo habis nyemplung di empang?" tanyaku yang sebenarnya cemas juga melihat dia seperti itu.

"Cit, kamu enggak apa-apa, kan?" tanyanya balik seraya menggenggam kedua tanganku, dapat kurasakan tangannya begitu dingin. Dia menatapku sesaat sebelum berujar kembali, "kontakmu enggak bisa dihubungi, aku takut kamu kenapa-napa."

"Enggak kenapa-napa kok, Gar."

"Syukurlah kamu enggak kenapa-kenapa. Pasti kamu ketiduran. Aku tadi nunggu kamu--"

"Cit, jadi cari makan enggak?" Suara Romi menginstrupsi ucapan Garjita.

Aku melepaskan tangan Garjita, lalu menengok ke belakang melihat Romi yang memasang raut wajah datarnya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Bentar, Bang," balasku seraya membentuk huruf o dan k dengan jemariku.

"Gar, mending lo pulang aja. Ganti baju, panggil dokter probadi lo biar dapat obat, terus istirahat," ujarku pada Garjita dengan nada lembut. Semoga ia mengerti kalau aku bukan mau mengusirnya, tapi aku mau dia segera istirahat takut dia kenapa-kenapa.

"Maaf kalau aku ganggu. Seharusnya dari awal aku enggak ngajak kamu jalan," jawabanya tetap tersenyum, meski dari tatapannya terlihat kalau Garjita kecewa denganku. Dia langsung berbalik pergi.

Aku memegang dahiku seraya mengumpat diriku sendiri dalam hati, bisa-bisanya aku lupa kalau ada janji dengan Garjita. Beberapa hari ini banyak hal yang kupikirkan jadi pikiranku bercabang. Tadi, sewaktu Romi bilang dia ada waktu hari ini untuk membahas naskahku, otomatis aku mengiyakan karena Romi itu susah dihubungi, apalagi meluangkan waktu seperti saat ini.

Sungguh aku menyesal dan merasa bersalah dengan Garjita karena melupakan janji kami. Aku tahu sekali Garjita itu selalu sabar menungguku datang setiap kami membuat janji temu dulu. Bahkan, aku telat satu jam lebih saja dia masih ada di tempat kami membuat janji bertemu. Berbeda denganku yang langsung mengomel kalau dia terlambat datang walau cuma beberapa menit.

"Cit, kamu ngelamunin apa sih?" Romi memegang bahuku.

"Aku lagi bayangin makan rendang," bohongku.

"Bukannya lagi mikirin Garjita?"

"Sok tahu. Udah deh Bang, mending kita beli martabak aja enak buat nyemil," ajakku seraya menarik tangan Romi.

Bersambung...

Tolong ya jangan gondol Romi. Romi is mine, kalian sama Gatra aja. Ikhlas :D

Btw, kalian pendukung siapa?

1. Romi & Citra

2. Garjita & Citra

3. Gatra & Citra

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang