10

3.6K 492 14
                                    

Puter lagunya Mbak Selena Gomez. Bagus, nih.

-------
Jantungku berdebar-debar menunggu pintu apartemen Garjita terbuka. Aku benar-benar bingung ingin berkata apa untuk menyapanya sepagi ini. Ini baru jam tujuh pagi tapi aku sudah di sini, takut tidak bisa bertemu Garjita kalau kesiangan.

Beberapa menit kemudian pintu terbuka, menampakkan Garjita yang tampak pucat, bibirnya pecah-pecah, dan manik matanya sayu. Aku hanya bisa tersenyum kikuk saat manik mata kami bertemu. Sungguh, aku benar-benar menyesal atas perlakuanku kepadanya.

"Citra," sapanya dengan suara serak. Bukan suara serak-serak basah yang biasa kudengar, tapi suara serak orang sakit.

"Gar, aku buatin kamu sup," kataku seraya mengangkat rantang yang kubawa, "ini rasanya enak dan bergizi, kok," lanjutku takut dia ragu dengan masakanku, masalahnya Garjita paling tahu kemampuan memasakku yang sangat minim. Namun, sekarang kujamin ini lezat karena aku sering memasak sup kalau mau.

"Kamu masak sendiri?" tanyanya dengan senyum mengembang.

"Iya. Makanya kamu harus makan. Ini spesial." Sungguh ini benar-benar spesial karena aku memasaknya khusus untuk Garjita, bahkan Mbak Lutfi saja yang kumintai bahan baku untuk memasak sup tidak kubolehkan mencicipi masakanku tadi. Padahal, aku sudah mengganggunya shubuh tadi ketika dirinya sedang enak-enak berendam.

"Makasih ya, Cit," Garjita menerima sup buatanku, "ayo mampir dulu."

Aku mengangguk, tak menolak karena tidak mungkin aku langsung pergi setelah jauh-jauh kemari dengan mengemudikan motor ugal-ugalan, layaknya penjahat dikejar polisi. Tentu saja itu melelahkan dan aku butuh waktu untuk beristirahat, duduk sebentar dan minum teh hangat.

"Mau minum apa?" tanya Garjita begitu aku masuk di ruang tamu.

Aku tak lekas menjawab. Kuperhatikan dekorasi dengan warna-warna gelap dan pencahayaan yang temaram membuatku teringat dengan apartemen Romi, bedanya kalau apartemen Romi desainnya monokrom dipadu dengan nuansa rustic dan industrual. Sementara apartemen Garjita ini memiliki desain  utama yang didominasi warna gelap, gaya arsitektual gothic terasa di sini.

"Enggak usah repot-repot, Gar. Gue bisa bikin sendiri." Aku tidak mau merepotkan Garjita yang sedang sakit dan aku lebih suka membuat teh sendiri agar rasanya tidak kemanisan atau terlalu pahit. Aku yang asli orang Jogja menyukai rasa manis, bisa jadi rasa manis di lidahku beda dengan selera Garjita.

"Ternyata kamu masih sama kayak dulu."

"Beberapa hal pasti ada yang berubah, tapi kebiasaan orang kan enggak gampang berubah, Jit. Udah di mana dapurnya, aku bikinin sekalian kamu minum," terangku seraya tersenyum.

Garjita langsung mengandeng tanganku untuk mengantar ke dapurnya. Tangannya begitu panas, tidak sehangat biasanya, ralat maksudku seperti dulu saat kami masih menjadi sepasang kekasih. Rasa hangat tangannya yang mengenggam tanganku masih teringat jelas begitu menenangkan. Di dekatnya, dulu aku merasa tengah dijaga dan dilindungi. Mungkin itu yang membuatku nyaman dengan Garjita.

"Enggak pa-pa kan kugandeng?" tanyanya yang menyadari aku memperhatikan genggaman tangannya.

"Nggak pa-pa lah, kalau diculik baru enggak boleh."

"Mana berani aku culik kamu, nanti bisa dihajar sama Romi."

"Bang Romi malah seneng kali kalau gue diculik, otomatis gue akan hilang dari penglihatannya. Kan dia nganggap gue itu sumber masalah dan beban hidupnya," ceplosku.

"Kalau gitu kenapa kalian pacaran?"

Aku mendelik, bisa-bisanya Garjita mengira aku pacarnya Romi. Jangankan jadi pacarnya, jadi teman aja jarang dianggap.

From Tomboy To Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang