Vio sudah siap dengan semua peralatannya. Topi pantai yang menghiasi kepalanya, rambut merahnya seperti biasa di gerai begitu saja, celana berbahan jins dan baju kemeja dengan model bagian bawah di ikat di pinggang. Jangan lupa kaca matanya yang berwarna kuning dan sebuah keranjang rotan di tangannya.
Dia tidak akan pergi ketaman bermain, pantai atau sejenisnya. Ia hanya ingin bermain di halaman depan degan anjing kecil milik Barbara – teman perempuan satu-satunya di komplek itu, gadis itu pergi keluar kota dan menitipkan Blackie bersamanya.
"Blackie... Blackie..."
"Hai sweet heart, kau ingin pergi piknik?"
Vio menatap ngeri wanita berambut merah di hadapan, ia mundur satu langkah kemudian bergidik. Ketika wanita itu mendekat, ia bergidik. Beruntung Blackie menggong-gong dan melompat dalam pelukannya dan beralih menggong-gongi wanita cantic di hadapannya.
Susah payah Vio mengelus kepala Blackie dengan kaca mata yang turun dan keranjang yang masuk kelengannya.
"Mau ku bantu?" Camilla mendekat akan mengambil keranjang Vio, namun gadis kecil itu menggeleng dan melewati begitu saja.
"Vio sebenarnya kedatangan ku kemari, aku ingin mengajak mu piknik di taman bermain. Rasanya sudah lama sekali kita tidak piknik bersama"
Kaki munggil Vio berhenti, ia tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya aku ingin piknik berdua saja dengan Blackie tapi..." Vio berbalik dan menatap Camilla "Jika kau memaksa kau boleh ikut dengan kami. Aku akan meminta supir mengantar kita"
"Tidak perlu Vio, biar aku saja yang menyetir"
"NO... Jika kau ingin pergi dengan ku, kita harus membawa supir. Karena kau akan membawa barang-barang ku nantinya."
Camilla menyetujui usulan Vio dan disinilah mereka, di taman bermain biasa dengan Vio yang memeluk Blackie si anjing kecil, sedangkan Camilla dengan susah payah membawa barang-barang yang tidak di ketahuinya untuk apa. Biasanya Vio tidak pernah membawa barang sebanyak ini dan barang-barang itu hanya boleh Camilla yang membawanya. Tadi ketika supir meminta untuk membantu Vio marah-marah dan ingin pulang jika bukan Camila yang membawanya. Girls stuff – katanya.
"Di sini Camilla, sini. Kau lambat sekali" gerutu gadis kecil itu sambil menurunkan Blackie.
Matras sudah terbentang dan makanan sudah terhidang. Yang membingungkan adalah tumpukan barang-barang yang di bawa Vio sama sekali tidak di sentuh gadis itu, sekarag ia sudah sibuk bermain dan berlari kesana kemari bersama Blackie.
Bosan, satu kata yang menggambarkan mood Camilla saat ini. Ia sengaja bangun pagi untuk mengajak Vio ketaman bermain, memang ia tidak begitu berharap banyak jika ada Asley di sana. Tapi saat ini sepertinya pilihannya salah, karena sedari tadi gadis itu tidak pernah duduk hanya mengambil makanan dan pergi lagi, begitu terus hingga beberapa kali. Dan ia berakhir makan sendiri.
"Ayo kita pulang"
That's it...
Ya hanya itu. Camilla tadi berharap bisa bermain dengan gadis kecil kecil itu. Minimal ia bisa menyuapi gadis itu, harapannya pupus ketika gadis itu lebih memilih bersama anjingnya dan beberapa orang anak laki-laki yang juga ada di sana.
***
"Kau tidak pulang?" ini entah sudah yang keberapa kali Almeera menanyakan pertanyaan itu, tapi Asley tetap bergeming di depan tv tanpa menonton, ia sibuk memainkan game di ponselnya.
Almeera merebut ponsel Asley dan menatapnya garang. Asley berdecak dan membalas tatapan Almeera dengan malas.
"Ini sudah malam Mi"
"Maka karena ini sudah malam, aku bertanya apa kau tidak pulang? Sebelum terlalu larut"
"Kau tidak menawari ku menginap?" Asley memasang tampang memelasnya.
"Nop" Almeera menggeleng tegas "Besok pagi kau harus bertemu klien, pulanglah. Aku tidak yakin kau akan tidur jika disini"
Asley menaikan kedua alisnya menggoda "Jadi sebenarnya kau takut aku tidak tidur atau kau takut besok pagi lelah?"
Almeera mendegus kesal dan menarik tangan Asley "besok pagi-pagi sekali aku ada pemotretan dan kita tidak bisa sarapan bersama"
"Maka dari itu Mi, kita bisa sarapan bersama. Biarkan malam ini aku tidur disini"
"Tidak Asley. Kau ini, jual saja apartemen mu dan pindah kemari kalau begitu. Jika kau tidak pulang lagi malam ini, kita tidak akan bertemu seminggu"
"Iya, iya. Aku pulang kalau begitu. Kau ini, tidak senang sekali aku disini. Seperti memiliki kekasih lain saja"
Almeera tidak menjawab ucapan Asley, ia menggandeng tangan Asley dengan riang. Setelah memberikan cium perpisahan di depan pintu, Asley berjalan dengan tidak rela, ia masih ingin di sana.
Kepala Almeera berdenyut, ia memijatnya ringan. Almeera kembali kekamarnya untuk mengambil ponselnya yang bordering.
"Apa dia sudah pulang" sambar suara seorang pria di seberang sana.
"Tidak bisakah kau pelankan suara mu. Kepala ku sakit"
"Kau sakit? Aku akan segera kesana"
Almeera berdecak kesal "Mark, aku tidak sekarat. Hanya kepala ku saja sedikit pusing"
"Yang penting kau sakit dan sendiri di apartemen. Apa kau tidak menghubungi dokter mu? Berapa minggu sudah kau tidak control?" rentetan kalimat dari seberang sana membuat kepala Almeera kian berdenyut.
"Mark aku rutin control dan akhir-akhir ini semakin rutin"
"Bagaimana perkembangannya kalau begitu"
"Sejauh ini bagus dan meningkat pesat. Tapi kepala ku semakin sakit. Besok pagi bisa kau mengantar ku? Aku sedang malas pergi sendiri"
Dan omelan beserta wejangan di seberang sana semakin menjadi. Almeera menghela napas kesal.
"Diamlah Mark. Kepalaku semakin sakit mendengar suara mu. Aku baik-baik saja. Atau jangan-jangan kau ingin mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui, sepertinya lebih bermanfaat."
Hanya itu senjata Almeera untuk membuat pria di seberang sana terdiam. Benar saja Mark langsung mengalihkan pembicaraan, mengatakan jika hari ini ada banyak pemotretan dan setelahnya pria itu undur diri dan menutup panggilan.
Semuanya berjalan begitu cepat bagi Almeera. Ia merasa dekat dengan Asley, namun tak ada yang bisa ia ingat dengan sempurna. Hanya beberapa potongan-potangan saja yang mirip Asley. Semuanya berjalan begitu saja, hubungan dengan Asley seperti sudah lama mereka jalani. Tidak ada rasa cangung yang ia rasakan, hanya debaran itu yang terasa. Almeera yakin mereka sudah lama menjalin hubungan, namun tiap kali Almeera memancing Asley, pria itu sama sekali tidak memberi sedikitpun jawaban yang pasti. Di tambah Mark tidak mendukung sama sekali. Almeera semakin yakin ada sesuatu yang keduanya coba sembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Wings (END)
ChickLitAsley terbangun dengan gadis cantik berambut merah di sampingnya, ia sama sekali tidak tahu anak siapa gadis itu. Ada sebuah surat yang tidak tau siapa yang meletakkannya di atas meja kerja Asley mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya. Setelah tes...