Matahari sudah hilang ketika Almeera duduk di samping Asley yang tengah mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang sambil sebelah tangannya sesekali mengusap tangan Almeera yang mulai dingin. Asley dapat melihat kecemasan dari wanita di sampingnya, walau Almeera terlihat begitu tenang, namun dingin tangannya tidak bisa mengelabui.
Asley sempat tidak setuju dengan usulan Almeera, ia masih belum mengerti apa yang ada di pikiran Almeera, namun yang pasti sudah Asley paham adalah wanita ini akan menjebaknya untuk masuk lebih dalam lagi kedalam kehidupannya, yang Asley takutkan masih sama hanya satu hal itu yaitu Almeera kembali meninggalkannya.
"Kau masih memegang janji mu kemarin bukan?" Asley mencoba untuk meyakinkan hatinya lagi dengan bertaya hal yang sama entah sudah yang keberapa kalinya kepada Almeera.
"Sudah berapa kali aku katakan. Tergantung respon keluarga mu"
Asley menghela napasnya. Kali ini giliran Almeera yang meraih tangan Asley dan mengecupnya. Asley sudah mewanti-wanti ibunya beberapa hari ini, agar memeperlakukan dengan baik wanita yang akan ia bawa kerumah hari ini, ia juga memanfaatkan Vio untuk meluluhkan hati ibunya itu untuk mengatakan 'iya', siapa yang akan menolak anak kecil yang menangis tersedu-sedu meminta neneknya menerima kedatangan 'momy-nya'. Sebenarnya Vio tidak sengaja mendengar percakapan mereka.
"Jika yang kau bawa adalah wanita tidak jelas, bagaimana aku akan menerimanya dengan tangan terbuka Asley. Katakan siapa wanita itu?" Amira melipat kedua tangannya dan menatap tajam Asley.
"Apa mom akan datang kemari dad?"
Asley tidak tau kenapa Vio bis bertanya seperti itu, namun itu merupakan kesempatan yang ia punya. Ia mengangguk dengan antusias. "Iya, mom akan datang. Tapi sepertinya nenek belum mengijinkan untuk saat ini"
"Kenapa? Nek mom itu baik, dia tidak nakal sama sekali"
"Asley? Mom? Apa yang kau ajarkan kepada anak mu, apa kau menghasutnya?"
Kepala Asley menggeleng tidak terima. "Dia sendiri yang memanggilnya begitu"
Kembali mendegus karena kelakuan ayah dan anak itu, Amira beralih kepada gadis kecil yang menatapnya penuh tanya.
"Vio jangan memanggil orang asing dengan sebutan itu"
"Dia buka orang asing nenek, dia ibu ku. Kerin aku melihat dad menciumnya seper-"
Belum selesai ucapan Vio, kekesalan Amira sudah sampai di ubun-ubun. Sebanarnya ia ingin membentak Asley, namun ia malah meninggikan suaranya kepada Vio.
"Ayah mu menciumnya bukan berarti ia ibu mu"
Jadilah mata yang tadinya masih bersinar lucu kini mulai berkaca-kaca dan tangisanpun terjadi. Amira tidak pernah meninggikan suaranya ketika berbicara kepada gadis itu dan kini ia membentaknya karena kesal kepada Asley.
"Oh... Vio ku sayang. Maafkan nenek, kemarilah. Nenek tidak akan mengulangnya lagi"
Vio menggeleng dan menatap ayahnya dengan tatapan kecewa. Asley kelabakan jika sudah begini, ia mengecup pipi gadis itu dan mengelusnya, menghapus air matanya.
"Vio nenek-" Amira masih mencoba untuk membujuk.
"Aku tidak mau bersama nenek. Aku mau mom ku, dia tidak membentak ku. Dad antarkan aku kesana"
Asley menggaruk tekuknya bingung. "Iya nanti kita mengunjunginya"
"Asley, bawa saja dia kemari" suara Amira lembut namun tegas, ia tidak ingin cucunya merasa tidak nyaman kembali.
"Jangan dad, nanti nenek memarahinya seperti tadi" ucapan itu bersamaan dengan tatapan tajam Vio kepada neneknya itu.
"Bukankah tadi nenek sudah berjanji Vio? Tidak akan mengulanginya lagi" ujar Amira penuh sesal.
"Janji? Nenek tidak akan memarahi mom jika datang kemari?" Vio mengacungkan jari kelingkingnya yang di sambut Amira dengan setengah hati sebenarnya, namun demi di maafkan ia akan melakukannya. Semudah itu jika beberusan dengan anak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Wings (END)
Literatura FemininaAsley terbangun dengan gadis cantik berambut merah di sampingnya, ia sama sekali tidak tahu anak siapa gadis itu. Ada sebuah surat yang tidak tau siapa yang meletakkannya di atas meja kerja Asley mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya. Setelah tes...