Kabut pegunungan seolah menebal setelah Zahra menerima telepon pagi itu. Ia telah melangkah setengah perjalanan menuju bukit untuk menunggui matahari terbit seperti biasa. Fahda berjalan di depannya dengan tergesa. Jauh di belakang, Diva tampak tergopoh-gopoh berlarian sebelum akhirnya berhasil menyusul dua temannya. Nafasnya tersengal-sengal ketika ia berbicara,
"Zahra... Zahra... tunggu!"
"Pelan-pelan, Div. Ada apa?"
Fahda yang selalu tak sabar buru-buru memboyongnya. "Bilang saja kamu mau ikut kami, 'kan? Ayo cepat! Matahari akan muncul sebentar lagi."
"Tidak... Fahda. Bukan itu."
Langkah mereka terhenti.
"Zahra, ada telepon penting untukmu. Segeralah ke ruang penanggungjawab pondok!" Diva mengatakannya seolah ada hal yang sangat genting.
Ketiganya saling bersitatap, dan sebelum semua menjadi jelas, Zahra telah melangkah setengah terburu menuju ruangan yang dimaksud. Diva mengikutinya di belakang. Sementara Fahda masih memaku di tempat. Wajahnya kesal bercampur tanda tanya. Dilihatnya ufuk timur yang telah bertambah terang. Matahari sudah muncul. "Ah... besok-besok masih bisa." Lalu segera ia berlari menjauhi bukit, menyusul dua temannya.
...
Setelah Bu Lidia memberi tugas, beliau pamit takziah. Rekannya yang menjadi dokter hewan meninggal oleh gigitan kucing rabies yang hendak diobatinya. Kelas menjadi tak kondusif setelahnya, meski sebelum pergi Bu Lidia telah berpesan: "Jangan sampai saya medengar aduan kelas sebelah kalau kelas ini berubah menjadi pasar setelah saya tinggal!" Meski tak sampai keluar ruangan, untuk pikiran Zahra yang saat itu tengah carut dan butuh ketenangan, bising-bising kecil dari obrolah teman-temannya lumayan mengganggu. Di sampingnya, Fahda tengah berjibaku membolak-balik halaman buku demi jawaban yang ia pikir tak akan ditemukannya meski telah mengunyah habis lembar-lembar buku itu.
"Ada cara agar aku bisa mengerjakan secepat pekerjaanmu, Zahra? Mengapa aku selalu tumpul jika berhadapan dengan matematika?"
Fahda tampak kebingungan. Ia mengenal cukup baik dasar-dasar geometri sewaktu masih kelas dua SMP. Tapi begitu dihubungkan dengan sin, cos, dan sudut-sudut yang membentuk suatu bangun, ia merasa matematika bukan diciptakan untuk porsinya.
"Kupikir aku harus berdoa agar bernafsu melahap buku ini sebagaimana aku melahap martabak manis kantin belakang. Zahra, kali ini beri aku contekan."
Tak ada respons.
"Zahra...."
Zahra terus saja diam dalam posisi duduk memaku, tak menoleh. Matanya yang menerawang jauh itu tengah menerbangkan pikirannya entah kemana. Ia bahkan tak menunjukkan keberatan sewaktu Fahda iseng mengambil kertas jawabannya. Tapi di luar dugaan, kertas itu masih kosong.
"Zahra, kamu melamun ya?" Fahda memberi cubitan kecil. "Hei?"
"E i-iya, ada apa, Fahda?"
"Kamu... melamun? Jawabanmu masih kosong. Sebentar lagi bel pulang. Apa kamu mau mengumpulkan kertas kosong itu dan puas dengan nilai nol besar bertinta merah?" Fahda mengatakannya penuh penekanan.
"Astaghfirullah tidak." Zahra buru-buru menggerakkan pulpennya.
...
Obrolan antara Zahra dan Bu Fatimah berakhir setelah Zahra pamit untuk kembali dan bersiap diri pergi ke sekolah. Zahra tidak bisa langsung pulang, meski ia sangat ingin. Ia harus terlebih dahulu menuntaskan prosedur ijin kepulangannya, baik ijin dari PAB Putri, maupun ijin dari SMA Al-Bayan. Langkah gadis itu terburu-buru, bagaimanapun, perasaannya menjadi tak karuan saat itu. Hal yang menjadi kekhawatirannya selama ini terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️
General FictionPART MASIH LENGKAP #1st in Hikmah #1st in Nasihat Untuk kedua orangtuaku: Sri Pujiastuti dan Yudi, yang tak pernah malu terlihat kusam, demi nyala terang masa depan putrinya. Dan untuk pemuda yang mengajariku arti keikhlasan dalam berjuang, karya...