Menjelang subuh buta pagi ini, para santriwati telah bangun dengan wajah semringah. Perhelatan akbar hari jadi pondok yang ke 32 akan resmi dibuka hari ini, dan selama sepekan penuh akan ada banyak kegiatan. Ini akan menjadi semacam hari raya ketiga yang disambut dengan senyum suka cita, penuh semangat dan bergelora.
Para santriwati senior yang ditunjuk dalam kepanitiaan acara itu telah wara-wiri mempersiapkan segalanya. Nuansa islami makin kental dengan kaset murottal quran yang diperdengungjan di setiap sudut pondok. Bendera sponsor dan umbul-umbul terpasang berkibar-kibar, menambah kesan bahwa perhelatan tahunan kali ini benar-benar digelar besar-besaran. Akan diselenggarakan berbagai macam lomba yang tidak hanya melibatkan pihak intern pondok, namun juga masyarakat ekstern, seperti: lomba da'i-da'iah, lomba qira'ah, lomba adzan, dan lomba kaligrafi. Pungkasnya adalah tausiyah akbar yang akan dihadiri beberapa kyai kondang nusantara, pemotongan tumpeng, serta doa bersama. Serangkaian acara ini akan diselenggarakan terpisah di dua tempat, yakni di Pondok Pesantren Al Bayan Putra, dan di Pondok Pesantren Al Bayan Putri. Kecuali untuk acara pembukaan, tausiyah akbar, dan acara puncak yang akan diselenggarakan terpusat di gedung aula utama Pondok Pesantren Al Bayan.
Fahda mungkin segelintir yang menyambut hari itu dengan tak cuma wajah semringah, tapi semalaman ia mesti mengakali insomnia yang mendadak merenggut rasa kantuknya. Dan pagi itu, ia menjadi yang paling siap dibandingkan tiga penghuni Kamar Khadijah 04 yang lain.
"Fahda, bukannya kami lambat, tapi kamu saja yang terlalu bersemangat. Acaranya kan masih empat puluh lima menitan lagi," Begitu sahut Diva menanggapi Fahda yang terus merepet, meminta agar mereka cepat-cepat.
"Kita harus mencari tempat duduk yang paling nyaman, 'kan?"
"Ya sudah, ayo," ajak Zahra menengahi.
Dengan balutan seragam resmi, penghuni Kamar Khadijah 04 itu menyusuri setapak menuju aula utama Pesantren Al Bayan yang terletak di kawasan PAB Putra, ditempuh tak kurang dari dua puluh menit berjalan kaki dari kawasan PAB Putri. Fahda berjalan paling depan, dan dibelakangnya membuntut Zahra, Diva, dan Safira dengan bibir mengerucut dan wajahnya yang tampak ogah-ogahan.
"Memangnya benar-benar akan meriah? Sebenarnya aku malas datang, buang-buang waktuku saja!"
"Tunggu sampai kamu menyaksikannya sendiri, Safira." Diva menyahut singkat, tak berminat berdebat panjang.
"Ada untungnya kita tak jadi masuk kepanitiaan, jadi aku bisa menikmati acara ini dengan tenang.... Kira-kira, sudah seperti apa ya dia sekarang?" Fahda melirihkan suaranya ketika mengucapkan kalimat yang terakhir, berharap ketiga teman di belakangnya itu tak mendengar.
...
"Kita duduk di tribun yang sebelah sana saja, bagaimana?" Zahra menunjuk ke salah satu bagian tribun santriwati yang kosong.
Gedung aula utama itu didesain menyerupai layout gedung olahraga. Ada tribun di sisi kanan dan kiri yang difungsikan untuk tempat duduk terpisah antara santriwan dan santriwati. Gedung ini berukuran besar dan tinggi menjulang, sebab memang diperuntukkan untuk acara seperti wisuda dan acara-acara perhelatan akbar lainnya.
Seperti yang telah diduga, acara ini digelar meriah. Setiap sudut hampir tak menyisakan visual tanpa hiasan. Semua bersih, rapi, dan diperhitungkan dengan baik. Satu yang menyedot perhatian penonton adalah banner besar yang terpasang di panggung. Seluruh yang memasuki aula telah membaca dan menghafal dengan baik tulisan dan jargon acara pada banner itu. Baru belakangan diketahui, para santriwati itu bisa terus-terusan memusatkan perhatian ke sana tanpa melengos, lantaran ada sosok Bang Taufik yang bersiap diri dengan microphone di tangan. Di atas panggung, tanpa berusaha menarik hati siapapun, dengan hanya mngeluarkan suara-suara pendeknya, "Tes satu, dua, tiga...." Barangkali telah ada lebih dari sepuluh lusin santriwati yang menyemoga kelak berjodoh dengan si ustadz muda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️
Ficción GeneralPART MASIH LENGKAP #1st in Hikmah #1st in Nasihat Untuk kedua orangtuaku: Sri Pujiastuti dan Yudi, yang tak pernah malu terlihat kusam, demi nyala terang masa depan putrinya. Dan untuk pemuda yang mengajariku arti keikhlasan dalam berjuang, karya...