Hartono beranjak dari sofa ruang tamu ketika mendengar mobil Rey menderum pendek di garasi. Anak lelakinya itu muncul tak lama setelah itu, dengan menenteng kresek putih. "Ini dari Kharisma, Yah," kata Rey lalu mencium tangannya dengan takzim. Hartono menerima bingkisan itu tanpa merasa ingin membukanya.
Di belakang, Zahra menguntit. Ia hendak pamit karena pekarjaannya telah usai setengah jam lalu.
"Biar Rey yang mengantarmu pulang, Nak."
"Terimakasih. Tapi saya naik angkutan umum saja." Zahra mengatakannya sopan. Tanpa bermaksud menyinggung.
"Tidak apa-apa, Zahra. Rey yang akan mengantarmu."
Rey tampak keberatan. Tapi demi melihat wajah ayahnya itu, ia urung untuk menolak. Meski tak dipungkiri, fisik ayahnya telah jauh melemah dan tatapannya tak setajam dulu. Setidaknya Rey mengingatnya sebagai seorang ayah yang sabar dan penyayang. Namun untuk beberapa hal, ayahnya itu juga sosok yang keras, terutama jika berhubungan dengan apa yang tebaik menurutnya: tak bisa ditentang. Dan selama itu, Rey tak berniat untuk mendebat. Lantaran segan, lagipula ia juga tak merasa memiliki alasan untuk mengkritisi perspektif ayahnya. Hartono berhasil mendidiknya dengan baik, hingga Rey tumbuh besar dengan pengabdian seorang anak yang penuh cinta kepada orangtua. Sekarang, setelah ibunya meninggal, Rey semakin tak ingin menyia-nyiakan kebahagiaan satu-satunya orangtua yang masih dimilikinya itu.
Mobil itu menderum lagi. Rey sudah bersiap di balik setir kemudi. Kursi di sebelahnya diduduki oleh si gadis yang tampak mulai gugup. Itu terlihat jelas dari tangannya yang terus menggulung-gulung ujung kain jilbabnya. Tak ada perbincangan apapun sampai Rey membuka percakapan di tengah perjalanan itu.
"Kamu ada perlu apa dengan ayah saya, Zahra?"
Zahra hanya menjawab dengan a,i,u tak jelas. Ketika Rey menatapnya sekilas, dahi gadis itu telah dipenuhi bulir-bulir keringat seukuran jagung. Rey segera mencari tombol AC, lalu mengencangkan temperature dinginnya. Zahra justru makin menggigil dalam perasaan aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Saya tidak salah sebut nama, 'kan? Namamu Zahra? Iya?"
Zahra mengangguk cepat, lalu buru-buru menoleh untuk menghindari tatapan itu lagi.
"Hei... aku sedang bertanya padamu lho?"
"Eh... iya, Mas. Maaf. Saya tadi ke rumah Mas, untuk mencari pekerjaan."
"Pekerjaan?"
"Iya. Alhamdulillah, Pak Hartono berbaik hati mengijinkan saya membantu Mbok Sum mengurus rumah."
"Tunggu, tunggu.... Sepertinya kamu ini masih berusia sekolah. Saya tidak salah, 'kan?"
Zahra mengangguk, tapi ia tak menjelaskan panjang lebar. Karena di depan sebuah rumah berwarna biru kusam itu, ia segera minta diturunkan. Jalan masuk ke gang rumahnya beraspal kasar dan tak mencukupi untuk dilewati sebuah mobil.
"Terimakasih, Mas."
"Sama-sama."
Rey menaikkan kaca mobilnya sebelum berlalu. Sementara Zahra memaku di tempat, tak juga menyadari apa yang telah terjadi.
...
Hampir genap satu bulan Zahra bekerja menjadi asisten rumah tangga pada keluarga Hartono. Laki-laki paruh baya yang enggan dipanggilnya "Tuan" itu sangat bermurah hati. Bagaimana tidak? Gaji yang seharusnya baru diberikan pada akhir bulan ini, sudah dibayarkan dua hari sejak ia mulai masuk kerja. Kalau tak sengaja ia kepergok tengah kepayahan sambil mengelapi keringat, ia akan diminta pergi ke meja makan atau ke kamar tamu untuk istirahat. "Zahra, kamu itu sudah bapak anggap seperti anak bapak sendiri," kata Hartono suatu kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️
Aktuelle LiteraturPART MASIH LENGKAP #1st in Hikmah #1st in Nasihat Untuk kedua orangtuaku: Sri Pujiastuti dan Yudi, yang tak pernah malu terlihat kusam, demi nyala terang masa depan putrinya. Dan untuk pemuda yang mengajariku arti keikhlasan dalam berjuang, karya...