Usai ibadah sholat dhuha, semua santriwati bergegas kembali menuju kamar masing-masing. Mereka akan mulai sibuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sekolah. Ada jeda waktu lapang sekitar empat puluh lima menit. Biasanya hanya dimanfaatkan untuk mengganti baju, mematut diri sebentar, dan mengecek buku bawaan agar jangan sampai tertinggal. Santriwati disini telah terbiasa terburu dengan jadwal dan tak ingin mengulur-ngulur waktu. Begitu ada kesempatan untuk melakukan sesuatu lebih dulu, meraka tak akan menunggu sampai nanti. Misalnya saja perkara mandi, mereka lebih suka mengantre sejak sebelum sholat tahujud atau paling tidak selepas sholat subuh, daripada mengambil risiko terlambat datang ke sekolah karena tak kunjung mendapat giliran mandi. Di jam-jam rawan setelah sholat dhuha ini, kamar mandi hanya dipenuhi pengantre yang tak berkepentingan dengan sekolah umum: mereka adalah para penanggung jawab pondok, dan mbak-mbak yang bertugas di dapur umum. Jadi tak ada drama semacam penyerobotan antrean, atau kebelet akut yang disalahgunakan santriwati sebagai alibi agar segera mendapat giliran mandi. Aktivitas tersibuk justru terjadi dalam petak-petak berukuran 5 x 5 meter yang dilabeli dengan nama-nama perempuan mulia dalam islam, lantas dinomori secara berurutan itu. Lorong Khadijah, Lorong Aisyah, Lorong Hafshaf, Lorong Zainab, dan keenam lorong lain yang tersisa. Tapi cerita ini akan bermula pada petak ke empat lorong Khadijah.
Setiap kelompok santriwati yang bermukim di kamar-kamar dalam lorong-lorong itu mesti bertanggung jawab terhadap kerapian perkakas dan keindahan kamar. Karena akan diselenggarakan kegiatan sabtu berhias pada pekan terakhir setiap bulannya. Pungkasnya, setiap satu semester sekali, pada akhir januari dan akhir juli, para santriwati itu mesti bersiap-siap diberi predikat sebagai empunya "kamar terkotor", "kamar terbersih dan terrapi", dan masing-masing akan menerima hukuman dan hadiah sesuai kesepakatan yang berlaku.
Kamar Khadijah 04 adalah teritori di bawah otoritas Zahra, Fahda, dan Diva. Begitu Fahda sering menyebutnya. Karena memang, dalam tujuh tahun ini, sepetak ruang kecil itulah muara segala sesuatu yang mencerminkan diri mereka. Mulai dari pertengkaran, umpatan kecil, namun selebihnya adalah tangisan rindu rumah yang langsung dihadiahi pelukan oleh satu sama lain, saling menguatkan. Diva menjadi yang ketiga di antara dua lainnya. Ia baru masuk pesantren setelah Zahra dan Fahda menginjak tahun kedua. Tapi mereka bertiga sebaya, dan kini sama-sama duduk di bangku kelas sebelas SMA.
Mereka mengerti, sejak tahun-tahun kemandirian hidup tanpa keluarga, telah menjadikan mereka tak sekadar cuma berbagi barang, melainkan juga kekesalan, kesedihan, dan segala macam perasaan yang tak bisa dipikul sendirian. Segala polah diartikan sebagai bentuk rasa sayang dan perasaan saling memiliki, bukannya rasa benci atau rasa tidak suka. Selalu ada yang terasa kurang kalau ada salah satu penghuni memutuskan keluar dan melanjutkan hidup di luar pondok. Seperti tiga bulan yang lalu, saat Kamar Khadijah 04 itu ditinggal oleh penghuni keempatnya, Rania, yang memutuskan keluar demi menerima pinangan putra Kyai kondang di dusunnya. Tak pelak, malam terakhir empat sekawan itu dibumbui haru biru. Fahda melupakan sejenak nafsu makannya yang menggelora. Sebab martabak manis kantin pondok yang menurutnya terenak di dunia itu tiba-tiba saja terasa hambar saat Rania mengatakan, "Ini perjumpaan kita yang terakhir, dan aku ingin menjadikannya manis seperti martabak ini." Lalu mereka menangis berpelukan.
Tapi sebagaimana waktu memulihkan rasa kehilangan, penghuni Khadijah 04 yang tersisa mulai meyakini bahwa Rania telah bahagia dengan pernikahannya. Tak ada lagi alasan bersedih. Hari-hari cengeng sementara itu telah berlalu. Kini senin pagi menjelang berangkat sekolah itu bergelora dan penuh kesibukan.
"Zahra, jangan lupa nanti catatanmu aku pinjam lagi. Aku belum selesai." Diva menyerahkan buku tulis bersampul coklat itu sambil lalu.
"Fahda dimana? Kita mesti berangkat sekarang."
Keduanya diam berpandangan. Baik Zahra maupun Diva akan selalu kehilangan momen dimana Fahda mestinya pamit. Hingga kadang keberadaan teman sekamarnya yang paling ricuh itu akan absen dari pengetahuan mereka. Fahda yang tak pamit, dan mereka berdua yang terlalu sibuk tanpa memperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️
Ficción GeneralPART MASIH LENGKAP #1st in Hikmah #1st in Nasihat Untuk kedua orangtuaku: Sri Pujiastuti dan Yudi, yang tak pernah malu terlihat kusam, demi nyala terang masa depan putrinya. Dan untuk pemuda yang mengajariku arti keikhlasan dalam berjuang, karya...