Bab 9 - Orangtua Impian

9.5K 508 5
                                    

Dini hari itu, Zahra masih terjaga. Ia tengah duduk, sambil terus memandangi lembar-lembar foto di tangannya. Sejenak, ia berharap memperoleh wadah yang cukup untuk menampung seluruh kenangan yang ingin ia bawa pulang. Tapi ia hanya beruntung dengan lima lembar fotonya bersama Fahda dan Diva yang sudah setengah usang. Foto-foto itu diambil dalam sebuah acara pameran nasional yang digelar satu tahun yang lalu. Setelah bersabar mengantre demi beberapa jepretan kilat, Fahda tak juga puas. Sambil bermulut manyun, ia mengomentari hasil cetakan tukang foto kilat itu: "Simpan saja untuk kalian, aku tak ingin melihat. Masa di situ aku kelihatan gendut sekali!"

Zahra pasti lupa hingga menaruhnya di bagian almari yang lembab, foto-foto itu jadi berbercak kecoklatan, dan sebenarnya, di beberapa bagian, warnanya telah ada yang pudar. Tak apa. Zahra tetap berniat untuk membawanya serta. Pasti sedikit cukup untuk merangkum segala kenangan yang tak mungkin terangkut oleh satu tas tangan besar, ransel sekolahnya, dan sebuah kardus berukuran sedang yang telah beres ia packing.

Ia terus memandangi foto itu lama, sambil merapatkan jaket guna mengusir hawa dingin. Matanya kemudian beralih ke arah teman-temannya yang sudah jatuh tertidur. Ia masih begitu akrab dan mampu membedakan setiap dengkuran-dengkuran itu. Pada jauh-jauh hari, di malam-malam yang begitu sunyi, ketika ia sering terjaga, ia akan langsung tahu dengkuran paling halus adalah milik Diva, sementara Fahda mendengkur lebih pendek, tapi terdengar lebih kasar. Dan baru-baru ini, ia mulai mengenali dengkuran milik Safira, serupa orang yang tengah bernafas berat. Itu hanya salah satu hal kecil. Dan ia telah mengenal pondok ini, juga teman-temannya, sebagaimana catatan pendek yang tertulis di belakang lembar-lembar foto itu, "Rumah Kedua, Keluarga Kedua."

Zahra beranjak. Setenang mungkin ia memindahkan barang-barang bawaannya dan bersiap untuk tidur. Usahanya gagal ketika langkah kakinya tersangkut tali tas dan menimbulkan sedikit kebisingan. Safira membuka matanya saat itu.

"Zahra, kamu belum tidur?"

Zahra menoleh, "Maaf... kakiku tersandung. Kamu jadi terbangun karena berisik."

"Tidak apa." Safira membetulkan posisi duduknya. "Kamu... besok jadi pulang?"

Zahra mengangguk.

"Tidak kembali lagi ke sini?"

"Ingin... tapi ibuku membutuhkanku."

"Kamu... anak yang berbakti, Zahra. Kamu anak yang baik. Ibumu pasti sangat menyayangimu." Suara Safira tercekat, tenggorokannya seperti tersumpal sesuatu. "Aku juga ingin sepertimu."

Zahra belum sempat menanyakan 'kenapa', Safira telah lebih dulu melanjutkan kisahnya.

"Kamu tahu? Aku tidak pernah berniat untuk menjadi gadis yang nakal. Kamu mungkin kaget melihat penampilanku saat pertama kali datang kesini. Gadis bertato, rambut bercat merah, juga tindik di lidahku, itu sama sekali bukan jati diriku yang sebenarnya." Safira terkekeh dalam humor ironinya, tapi Zahra menatap gadis itu penuh kesedihan. "Aku terus berharap jadi anak yang baik untuk kedua orangtuaku. Tapi semuanya berubah ketika ayahku berselingkuh dengan sekretarisnya. Ibuku yang mengetahui hal itu, bukannya malah mencoba memperbaiki, justru malah membalas ayahku dengan cara yang serupa. Hanya aku yang mencoba, Zahra. Aku merubah diriku menjadi gadis yang nakal dan berbeda dari Safira yang dulu. Aku hanya ingin ayah dan ibuku tahu, bahwa aku tidak menyukai keadaan mereka. Aku berusaha menarik perhatian, aku membuat onar dan masalah, tapi yang terjadi justru aku dibuang oleh ayahku di sini. Ayahku menganggapku anak yang merepotkan. Tapi aku tidak menyerah, aku mencobanya sekali lagi. Aku usil pada Fahda dengan mencampur cucian bersihnya dengan tahi ayam dan membuat teman sekelasku cidera. Aku hanya ingin dipulangkan dari sini, dan memastikan ayah dan ibuku tidak jadi bercerai. Aku ingin kembali menjadi Safira yang dulu. Tapi hari itu, ketika aku menelepon mereka lagi, kamu tahu? Mereka sudah resmi bercerai, ayahku bahkan sudah merencanakan pernikahannya dengan sekretarisnya itu seminggu lagi. Ayahku mengatakan aku tidak perlu pulang, aku hanya akan merepotkannya. Apa kamu juga berfikir bahwa aku salah, Zahra? Aku membenci perceraian mereka. Aku tidak butuh apapun, aku hanya ingin ayah dan ibuku kembali. Seperti dulu."

Air mata Safira tak terbendung lagi. Zahra merengkuh gadis itu dalam pelukannya.

"Kamu adalah anak yang baik, Safira, bahkan jauh lebih baik daripada aku. Orangtuamu hanya tidak sadar tentang itu."

Pelukan Zahra bertambah erat. Malam itu, ia mengenal Safira tak sekadar melalui dengkurannya yang serupa orang yang tengah bernafas berat, tak pula sebagai gadis songong yang doyan membikin onar, tapi sisi lain; kerapuhan. Selama ini, Safira selalu menyimpan masalahnya seorang diri. Bersikap nakal adalah caranya menjadi kuat menurut versinya sendiri. Tapi di luar semua itu, ia tetaplah seorang anak yang merasa terasing dalam keluarganya sendiri.

...

"Tak ada yang terlewat, Zahra?"

"Kurasa tidak. Kecuali... aku harus mulai menatap malam-malam dengan kerinduan teramat sangat pada kalian." Zahra merentangkan tangan, lalu dibalas hangat oleh teman-temannya.

"Aku akan sangat merindukan kalian."

"Kami juga." Pelukan itu melonggar. "Fii Amanillah1, Zahra."

"Kalian juga. Semoga Allah selalu memberi kemudahan dan kebahagiaan untuk kalian."

"Amin."

Mereka saling melambai. Itu adalah tur menyedihkan yang terasa amat panjang.

"Ayo, Zahra!" Bu Fatimah membukakan pintu mobil. Beliau berbaik hati untuk mengantarkannya sampai ke Stasiun Jatinegara. Ia akan naik kereta pagi ini menuju Stasiun Lempuyangan, lalu melanjutkan perjalanannya ke Bantul dengan Bus Trans Jogja.

Mobil yang membawanya bergerak menjauh. Perlahan, Zahra melihat kenangan-kenangan dalam tujuh tahun terakhir itu seolah berkelebat di depan matanya. Air matanya menetes.

______________________________________

1Semoga kamu dalam lindungan Allah

...

Jangan lupa FOLLOW, VOTE, dan KOMEN ya

Instagram, Twitter, Facebook: Eref Esbe

Terimakasih

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang