Ia berbinar-binar saat mengatakan telah mendapatkan pekerjaan untuk beberapa bulan ke depan. Itu demi mengusir bulir-bulir bening yang meleleh dari sudut mata ibunya. Di balik itu, ia sendiri tak yakin, apa secarik kertas dari bapak paruh baya kemarin akan berarti sesuatu.
"Kudengar bidadari surga tak pernah menangis. Ibu jadi jelek kalau begini. Lagipula, Zahra sudah tahu harus kemana. Ibu tenang saja." Sambil mengelapi air mata ibunya.
"Kamu memang harta tak ternilai yang ibu miliki, Nduk."
Zahra mencium tangan Martini. "Tetap merekahlah, Bu. Sebab dengan itu, aku meniti surgaku," gumamnya lirih. Ia lalu pamit dan melambai sebelum pergi.
Dengan menyandang ransel sekolah miliknya, Zahra lebih mirip gadis SMA yang hendak berangkat les, daripada gadis yang tengah mencari pekerjaan. Ia segera menyetop angkutan di dekat pangkalan ojek, lalu menunjukkan kartu nama itu pada sang sopir. Sopir itu mengatakan, "Gak bisa berhenti di depan gapura masuknya, Mbak. Itu perumahan elit yang melarang ada kebisingan."
Zahra menurut saja saat sang sopir menawarkan alternatif untuk berhenti di dekat Pos Polisi Umbulharjo. Katanya, ia cuma perlu berjalan kaki seratus meter ke timur sampai tiba di gapura perumahan yang dimaksud. Sampai disana, ia tak akan kesulitan menemukan rumah Hartono sebab akan ada satpam yang bisa ditanyai.
Satpam perumahan itu adalah bapak tua yang mungkin seusia dengan ayahnya kalau saja masih hidup. Ia tengah duduk di kursi sambil menonton televisi ditemani secangkir kopi yang mengepul. Zahra menyapa,
"Maaf, Pak. Permisi. Mau bertanya alamat rumah ini, dimana ya?" kata Zahra menyodorkan kartu nama di tangannya.
"O Pak Hartono. Mbak ini keponakannya atau? Ah sudahlah tidak penting. Mbak lurus saja. Rumah beliau ada di ujung jalan sebelum belokan pertama, menghadap ke barat."
Zahra mengangguk mengerti. Lalu setelah mengucap terimakasih, ia mengikuti instruksi si satpam menyusuri sepetak yang lumayan lebar dan jelas sangat akrab dengan sentuhan penyapu jalan itu. Rumputnya serupa karpet hijau tebal yang membingkai sepanjang sisi jalan. Ada pot bunga dari semen yang diletakkan setiap lima meter. Pot-pot itu ditumbuhi bunga flamboyan yang rimbun dan tampak melambai-lambai ditiup angin.
Bagi orang awam yang baru pertama mampir ke kompleks perumahan itu, hampir mustahil untuk membedakan setiap rumah karena ornamen dan catnya yang senada. Kecuali dua digit angka yang tertera di samping pagar tinggi menjulang.
"18 A." Zahra melambatkan langkahnya. Ia mencocokkan lagi dengan tulisan di kartu nama yang ia bawa.
"18 A. Tidak salah lagi. Ini rumah bapak itu."
Tiba-tiba Zahra merasa canggung. Siapa yang akan ia temui di rumah sebesar itu? Pemiliknya jelas kaum elit yang bisa saja memandangnya sebelah mata begitu tahu ada gadis putus sekolah yang minta diberi pekerjaan. Secara umur dan pengalaman, tak banyak majikan baik hati yang mau mempercayakan rumah dan dapurnya di tangan seorang anak ingusan.
"Bismillah." Zahra memencet bel.
Tak lama berselang, pintu utama rumah itu berderak halus. Seorang lelaki muda muncul dengan pandangan tajam. Ia berusaha meneliti siapa yang bertandang ke rumahnya pagi itu.
"Assalamualaikum, Maaf." Suara Zahra bergetar, wajahnya menunduk dalam. Hampir saja ia menangis.
"Waalaikumussalam. Siapa, ya?" jawab lelaki itu ketus.
"Saya Zahra, Mas. A-apakah ini benar rumah Pak Hartono?"
"Iya, benar. Saya anaknya. Ada perlu apa, ya?"
"Boleh saya bertemu beliau?"
"Pak Hartono sedang sakit. Lagipula kalau tidak ada hal yang penting, saya tidak suka kalau ada yang mengganggunya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️
General FictionPART MASIH LENGKAP #1st in Hikmah #1st in Nasihat Untuk kedua orangtuaku: Sri Pujiastuti dan Yudi, yang tak pernah malu terlihat kusam, demi nyala terang masa depan putrinya. Dan untuk pemuda yang mengajariku arti keikhlasan dalam berjuang, karya...