Ruangan berukuran 10 x 10 m yang menjadi kamar peraduannya itu mendadak meremang. Dua lampu tidur yang terletak di masing-masing nakas sebelah kanan dan kiri ranjang, salah satunya telah pecah berserak di lantai. suaminya terkapar di dekatnya, dengan darah segar mengalir deras dari pergelangan tangan. Serpihan tajam lampu tidur itu rupanya telah melukai kulit tangan Rey. Zahra menduga, suaminya itu telah mencoba bangkit, berjalan sempoyongan, hingga tak sengaja menjatuhkan lampu tidur yang terletak di sebelah ranjang.
Zahra telah memahami bagaimana melakukan prosedur pertolongan pertama. Ia segera mengambil antiseptik, kapas, kain kasa, dan plaster coklat di kotak P3K. Setelah sebelumnya dengan susah payah, ia harus memapah sendiri tubuh suaminya itu dan memindahkannya ke atas ranjang. Beruntung Rey masih seperempat sadar. Jadi sepasang kakinya masih berfungsi untuk menopang tubuhnya yang memudahkan pergerakan Zahra.
Dengan perhatian, Zahra membersihkan luka-luka itu, memastikan darahnya tak lagi mengalir dengan membalutkan kain kasa dan plaster coklat. Satu kecupan lembut mendarat di atas luka yang telah terbalut rapi itu. Ritual aneh yang ia pelajari dari ibunya untuk mempercepat penyembuhan luka, ketika dulu ia sering jatuh karena terlalu bersemangat belajar naik sepeda.
Untuk kali kedua, setelah prosesi pertukaran cincin dalam pernikahannya, ia bisa kembali menyentuh tangan Rey. Zahra terus meyakinkan diri, bahwa ia sedang tidak bermimpi. Bahwa itu sesungguhnya memang suaminya yang sedang terbaring di atas ranjang mereka. Dan Zahra terus memandangi wajah Rey untuk waktu yang lama, tanpa merasa diabaikan, tanpa merasa sedikit pun tidak diinginkan. Telapak tangannya yang halus itu perlahan mengusapi pipi Rey. Begitu lama, sampai ia sadar mencium aroma alkohol, lalu segera menggantikan pakaian basah itu dengan baju tidur yang lebih hangat.
Zahra masih memandangi wajah tidur suaminya, tanpa merasa bosan. Seolah mengerti betul, semesta tak banyak mengijinkan waktu baginya untuk bisa melakukan itu setiap hari. Rey seutuhnya sangat tampan, tapi juga berantakan. Zahra bisa menebak, karena hanya orang-orang yang merasa tidak bahagia lah yang lantas mencari pelarian sesaat dengan jalan mabuk-mabukan.
"Mas Rey, kenapa kamu harus seperti ini sih, Mas? Kamu sedang ada masalah apa?"
"Kharisma," gumam Rey lirih.
Mendengar nama wanita lain yang dipanggil oleh suaminya dalam keadaan tidak sadar begitu, kedua sudut mata Zahra kembali menggenang. Begitu kuatnya wajah Kharisma terukir dalam benak Rey. Satu pil pahit yang harus ditelan olehnya, bahwa atas dasar pernikahan mereka, suaminya itu tidak pernah merasa bahagia.
Zahra mengusapi air matanya yang mulai meleleh. "Kamu begitu mencintai Mbak Kharisma ya, Mas?"
Zahra hampir beranjak menuju dapur untuk membuatkan jahe hangat, saat tiba-tiba Rey meraih tangan kanannya. Kaget, langkah wanita itu terhenti. Hatinya berdesir.
"Kharisma." Rey membuka mulutnya lagi.
Zahra menoleh, menelaah apa yang sedang terjadi pada suaminya. Dalam pencahayaan lampu tidur yang temaram itu, ia melihat Rey tengah mencoba bangkit sambil mengucek-ngucek kedua matanya.
"Mas?"
"Kamu mau pergi kemana, Kharisma?"
Zahra kebingungan. Logikanya belum sepenuhnya bekerja saat langkah sempoyongan Rey tiba-tiba merapat tak berjarak di depannya. Rey mendekapnya kuat, mencengkram tubuhnya hingga ia tak kuasa melepaskan diri. Ia pasrah saja ketika suaminya itu memberi sentuhan-sentuhan yang membuat tubuhnya bergetar hebat, panas dingin.
"Kamu jangan pergi lagi, Kharisma. Aku sangat mencintaimu."
"Tapi, Mas. Aku ini bukan..." Belum sempat Zahra menyelesaikan kalimatnya, telunjuk Rey telah mengatup di depan mulutnya. Wanita itu terdiam. Selanjutnya, hanya malam yang menjadi saksi sebuah awal yang akan mengakhiri perjalanan kisah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️
General FictionPART MASIH LENGKAP #1st in Hikmah #1st in Nasihat Untuk kedua orangtuaku: Sri Pujiastuti dan Yudi, yang tak pernah malu terlihat kusam, demi nyala terang masa depan putrinya. Dan untuk pemuda yang mengajariku arti keikhlasan dalam berjuang, karya...