Bab 19 - Wasiat Ayah

12.9K 590 5
                                    

Serangkaian acara tahlil dan kirim doa tujuh harian pasca kematian Hartono, telah dirampungkan. Semuanya mulai kembali normal. Para kerabat dan sanak saudara Rey sudah pulang ke tempat asal, termasuk juga Martini dan Marni, Ibu dan Budhenya Zahra yang memutuskan kembali ke Solo dua hari yang lalu.

Rumah mewah berlantai dua itu mulai sepi dari aktivitas. Brata dan Sum yang sudah lama bekerja di sana juga dipulangkan. Meski terjadi momen memilukan ketika Brata dan Sum mengemasi barang dan pamit undur diri, Rey tak mengurungkan niatnya untuk tetap menjual rumah yang selama ini telah membesarkannya. Bersama ibu dan ayahnya, rumah itu telah merekam banyak jejak kebahagiaan. Tapi selalu, setiap ia mampu mengenang kebersamaan membahagiakan itu, takdir juga membuyarkan senyumnya dengan kenyataan hari ini: bahwa ia telah ditinggal pergi oleh dua orang yang begitu ia cintai.

Rey tengah sibuk memasang plang "Dijual tanpa perantara" pada pintu pagar, ketika handphone di sakunya berbunyi. Si penelepon itu mengenalkan diri sebagai pengacara dari almarhum ayahnya. Dan untuk keperluan pembacaan surat wasiat, Rey menyetujui mereka bertemu siang ini. Rey langsung menghubungi nomor telepon Zahra.

"Assalamualaikum, Mas Rey." Zahra baru menyahut setelah Rey mencoba meneleponnya sepuluh kali.

"Waalaikumussalam. Kenapa lama sekali menjawab telepon dariku?"

"Maaf, tadi aku masih di kamar mandi, Mas."

"Ya sudah. Nanti siang aku ke rumah. Kamu harus siap-siap. Kita akan pergi."

"Kemana, Mas?"

"Ke rumah ayah. Nanti siang pengacara ayah akan datang untuk membacakan surat wasiat."

"Baik, Mas."

"Ya sudah. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Pembicaraan di telepon itu berakhir dengan penutupan yang datar. Zahra terus memandangi riwayat panggilan yang baru saja terjadi: tidak lebih dari tiga menit, begitu yang tertera di sana. Sekalipun ia menyandang status sebagai istri dari Rey, nyaris tidak pernah suaminya itu menelepon. Sedikit berbasa-basi, paling tidak, Rey bisa berpura-pura untuk menghormati apa yang dirasakan batinnya. Tapi suaminya itu telah memutuskan untuk menghindar, sejauh-jauhnya.

"Mas Rey, kalau saja kamu mau meluangkan waktumu sedikit lebih lama... lalu kita bisa mengobrol.... Aku bisa merasa dirindukan, sama seperti istri-istri di luar sana, aku akan sangat bahagia," gumamnya getir.

...

Suara bel di kediaman almarhum Hartono siang itu terdengar nyaring. Rey dan Zahra yang telah menunggu sedari tadi segera bangkit dan menyambut Rudi.

"Assalamualaikum, Pak Rey, Bu Zahra."

"Waalaikumussalam." Rey menjabat tangan Rudi dengan hangat, sementara Zahra hanya menundukkan kepalanya sambil menangkupkan tangan di depan dada.

"Mari masuk, Pak!"

"Terimakasih, Pak Rey. Maaf kalau siang-siang begini saya mengganggu. Soalnya tadi pagi, saya harus mendampingi persidangan klien saya. Biasa, kasus perceraian yang berbuntut perebutan harta gono-gini."

"Ah, tidak apa-apa, Pak Rudi. Lagipula saya dan istri saya ini kan pengantin baru. Kalau sedang tidak ada pekerjaan, siang hari seperti ini kami lebih betah kluyuran dan jalan-jalan. Iya kan, Sayang?" Rey mengerling ke arah Zahra, berharap istrinya itu mau sedikit berpura-pura di hadapan tamu mereka.

"I... iya, Mas." Zahra malah terlihat gugup. "Pak Rudi sama sekali tidak mengganggu waktu kami kok."

"Mari, Pak, silakan!" Rey mempersilakan tamunya untuk duduk.

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang