Café Metropolitan
Di café favorit mereka pagi itu, Rey dan Kharisma bertemu. Tak lebih hangat dari sebelumnya, sebab Kharisma tentu saja masih marah. Sepanjang topik yang Rey bicarakan, mata dan jemari Kharisma tak pernah lepas dari laptop yang menyala di depannya.
Tapi pasti bukan Rey, jika tak bisa memikirkan cara untuk meluluhkan hati kekasihnya. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar bagi lelaki itu untuk mengenali karakter Kharisma. Ada banyak konflik yang pernah hadang melintang, kesalahpahaman, tapi selama itu, semua selalu berakhir baik-baik saja. Meski seharusnya ada pengecualian untuk saat ini, dimana Rey telah menyandang status sebagai suami dari wanita lain. Tapi Rey tak peduli.
"Sebagai permintaan maafku." Rey menyodorkan buket mawar di tangannya.
"Rey, kita sudah membicarakan hal ini."
"Kamu masih marah?"
"Aku butuh waktu. Sebaiknya kita jangan terlalu banyak bicara dulu."
"Kamu harus percaya padaku, Kharisma. Hubungan kita akan baik-baik saja. Kita bisa berjuang sama-sama untuk memastikannya."
Suara decak-decak keyboard itu berhenti. Kharisma menatap lelaki di hadapannya. "Kalau begitu, aku ingin tahu bagaimana kamu menghabiskan malam pengantinmu kemarin?"
"Aku meninggalkannya, dan menyewa apartemen tak jauh dari sini."
Senyum Kharisma mengembang. Demi menyaksikan sudut bibir kekasihnya itu telah terangkat, Rey bernafas lega.
"Mbak... " panggil Rey pada pelayan cafe yang melintas.
"Iya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau pesan. M.... " Mata Rey beralih dari daftar menu ke arah Kharisma. "Kamu ingin pesan apa, Sayang?"
"Kamu sudah tahu kebiasaanku." Kharisma menjawab cepat.
"Cappucino mixed berry satu, Strawberry Frapucino satu, Green Tea Waffle satu, sama Melted Hazelnut Pastry satu."
"Baik. Mohon ditunggu sebentar."
Setelah pelayan itu menuju ke dapur, Rey meraih handphone di sakunya. Sementara, tak ada lagi obrolan di antara dua sejoli itu. Rey tak memaksakan Kharisma untuk berkata banyak. Baginya, senyum kecil tadi sudah cukup. Selanjutnya biar mengalir sebagaimana mestinya.
"Rey.... " Suara itu terdengar ragu-ragu.
Rey beralih menatap Kharisma.
"M... sampai kapan kamu stay di Yogya?"
"Aku mengambil cuti menikah satu bulan. Lalu bulan depannya sudah harus terbang ke Dubai." Rey mendengus kesal. Rencana yang ia susun dalam pikirannya berantakan. "Kalau saja.... "
"Aku akan memaafkanmu. Dan...." Kharisma diam sejenak, kemudian melanjutkan, "Aku... aku masih bersedia menunggumu."
Rey tersenyum, "Kamu harus percaya padaku, Kharisma. Aku sangat mencintaimu." Rey meletakkan handphonenya di meja. Lalu menggenggam jemari Kharisma dengan hangat.
"Aku juga sangat mencintaimu, Rey."
...
Sudah hampir seminggu, sejak suaminya itu memilih menetap di apartemen yang disewanya. Zahra harus mengubur dalam-dalam impian indahnya sebagai wanita yang menyandang status baru sebagai seorang istri.
Rey hanya pulang setiap pagi untuk mengambil pakaian ganti dan memulangkan kembali pakaian kotornya. Setelah itu tidak ada tatap muka atau pesan singkat dari suaminya, bahkan untuk sekadar berbasa-basi menanyakan apakah istrinya itu sudah makan atau ungkapan lain yang menunjukkan rasa cinta, sebagaimana pasangan pengantin baru pada umumnya. Hari-hari Zahra terasa kian suram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️
General FictionPART MASIH LENGKAP #1st in Hikmah #1st in Nasihat Untuk kedua orangtuaku: Sri Pujiastuti dan Yudi, yang tak pernah malu terlihat kusam, demi nyala terang masa depan putrinya. Dan untuk pemuda yang mengajariku arti keikhlasan dalam berjuang, karya...