[40] Espresso

40.3K 3.4K 125
                                    

Andaikan hidup bisa seperti kopi yang pahit namun tetap menenangkan.

Beberapa minggu berlalu, malam ini Ravin tengah mengantar Ara ke rumahnya setelah gadis itu harus menghadiri press conference yang dibuat khusus untuk Frappucino di daerah selatan ibu kota.

Ravin menghentikan motornya di depan halaman rumah Ara. Ia menatap wajah gadis itu yang tampak sudah sangat lelah.

“Ra, pokoknya Ara harus istirahat yang cukup. Nggak lucu ‘kan kalo Ara sakit?” tanya Ravin.

Ara mengerutkan dahinya. “Nggak lucu kenapa?”

“Kalo Ara sakit, berarti Om Revo gagal jadi dokter.” Jawaban Ravin sesungguhnya benar-benar tak nyambung. Namun Ara hanya tertawa.

“Masa anak dokter bisa sakit?”

“Apa hubungannya ya Bapak Ravin yang terhormat?” tanya Ara seraya mengacak-acak rambut Ravin.

“Emang lo pikir gue manusia ajaib yang nggak bisa sakit? Hah?” tanya Ara lagi.

Ravin tertawa hangat. “Iya, Ara manusia ajaib.”

“Ajaib gimana?”

Ravin menatap Ara dalam-dalam seraya tersenyum tipis.

“Lo selalu bisa bikin gue jatuh cinta.”

Ara tertawa. “Bisa nggak lo nggak usah gombal sehari aja?”

“Nggak bisa lah.”

“Kenapa nggak bisa coba? Lo tinggal diem terus nggak usah gombal-gombal dan—” ujar Ara terpotong.

“Soalnya gue jatuh cinta sama lo setiap hari, Ra.”

Ara tertawa lagi, namun tak lama ia menatap Ravin meledek. “Kalo misalnya suatu saat gue jelek, terus gendut, terus nggak bisa ngapa-ngapain gimana?”

Ravin malah tertawa. “Gue nggak peduli, gue bakalan tetep jatuh cinta sama lo.”

“Kenapa?” tanya Ara.

“Gimana pun, lo tetep cantik di mata gue, Ra.”

“Kalo misalnya, lo diomongin banyak orang karena pacaran sama cewek yang jelek, gendut, nggak guna. Lo bakal benci nggak sama gue?” ledek Ara lagi.

Ravin tertawa. “Lo aneh-aneh aja, mana bisa gue benci sama lo?”

“Yang ada, orang-orang itu yang bakalan gue bikin jadi daging cincang!”

Ara menggelengkan kepalanya. “Gue ke dalem ya?”

Have a nice dream, Ra,” ujar Ravin seraya tersenyum hangat.

Tuhan, mengapa bisa ada manusia yang memiliki hati seperti Ravin?

Setelah Ara memasuki rumahnya, Ravin mengegas motornya untuk kembali ke rumahnya.

Ketika ia sampai di rumahnya. Terdapat Papanya, Shanon, dan juga Tante Yura—Mama Shanon di meja makan. Mereka tengah makan malam bersama.

“Vin, sini makan bareng,” ajak Vito. Ravin menggelengkan kepalanya.

“Ravin udah makan, Pa.” Ravin menolak lalu berjalan menuju kamarnya. Namun mata Vito membulat kearah Ravin.

“Sini, Vin. Ada yang Papa ingin bicarakan sama kamu.”

Ravin menghela napas panjang lalu menghampiri meja makan itu. Ia mencium punggung tangan Tante Yura lalu duduk di bangku kosong yang terdapat di samping Shanon.

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang