[41] Deeply Hurt

35.3K 3K 305
                                    

[Kalau bisa, bacanya sambil dengerin multimedia ya]

“Apa yang lebih menyakitkan daripada ditinggal tanpa alasan?”

Piano Café.

Rasanya Ravin tak akan pernah bosan untuk berada di tempat ini. Tempat yang terasa sangat nyaman walaupun terkesan sederhana.

Malam ini ia kembali berada disini, padahal baru kemarin malam ia meminum segelas Espresso di tempat ini.

Ravin menatap jam tangannya lalu mengalihkan pandangannya kearah yang lain. Kini ia tengah menunggu seseorang. Siapa lagi jika bukan Ara sang bidadari tak bersayapnya? Gadis itu hari ini harus manggung bersama Frappucino di salah satu stasiun televisi di Indonesia. Jadi wajar saja jika ia akan terlambat datang.

Ravin memutuskan untuk bercerita tentang masalahnya pada Ara. Karena menurutnya, mungkin untuk saat ini Ara yang akan paling mengerti tentang dirinya.

15 menit kemudian, sosok gadis berparas cantik dengan tubuh semampainya datang memasuki Café lalu duduk di depan Ravin.

Ravin tersenyum hangat kearah gadis itu. “Hai, Ra.”

Namun tak ada balasan dari gadis itu. Yang Ravin dapatkan hanya wajah datar dan tatapan tajam gadis itu.

Ravin menatap Ara dalam-dalam.

“Ara kenapa? Lagi ada masalah?” tanya Ravin.

“Enggak,” jawab Ara masih dengan tatapan tajamnya.

Ravin terkekeh kecil. “Ra, nggak usah sok jutek gitu deh.”

“Ara tuh tambah cantik kalo lagi jutek.”

Ravin mencoba untuk mencairkan suasana, namun sepertinya upayanya tak berhasil. Gadis itu masih saja terdiam dan menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam.

Sehingga detik-detik selanjutnya hanya diisi dengan keheningan. Ravin membalas tatapan Ara, tetapi bukan dengan tatapan tajam dan mematikan juga. Ia menatap Ara dengan tatapan hangat yang menenangkan.

“Ada yang mau gue omongin,” ujar Ara dan Ravin bersamaan.

Ravin terkekeh kecil. “Kok kita bisa samaan ya, Ra?”

“Jangan-jangan kita jodoh.”

“Jangan-jangan yang mau kita omongin juga sama.”

“Ara mau ngomongin apa?” tanya Ravin dengan nada hangat.

Ara menghela napas berat.

“Lo duluan aja,” ujar Ara dingin.

Ravin menggelengkan kepalanya. “Nggak papa kok, Ara duluan aja.”

Ara menatap Ravin tajam. “Lo aja.”

“Ara, Ara tau kan kalo cewek itu biasanya mau diutamakan? Jadi Ara duluan aja yang ngomong.”

Ara mengangguk lalu menatap Ravin dengan benar-benar tajam. Ravin mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang Ara katakan.

“Kita putus.”

Ravin membulatkan matanya kearah Ara. Apakah Ara sedang bercanda?

“Ara bercanda ya?”

“Ara mau ngerjain Babang Ravin?”

“Ra, ulang tahun gue itu udah lewat.” Ravin terkekeh kecil.

Namun gadis itu masih dengan wajah seriusnya.

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang