[42] Tahu Diri

38.9K 3.4K 869
                                    

Keesokan harinya, Ara harus menerima hukuman untuk membawa tumpukan buku dari perpustakaan menuju ruang kelasnya karena ia terlambat datang ke sekolah.

Dan kini, Ara berjalan melewati kelas Ravin. Dalam diam, Ravin menatap gadis yang tengah susah payah berjalan dengan setumpuk buku di tangan mungilnya.

Tak lama kemudian, buku-buku itu terjatuh. Entah apa yang menggerakan hatinya, Ravin menghampiri gadis itu lalu membantunya untuk membereskan buku-buku yang terjatuh.

“Hati-hati, Ra,” ujar Ravin seraya menatap lekat mata Ara. Ara membalas tatapannya dengan tatapan tajam sehingga mata mereka sempat bertaut untuk beberapa saat.

Andaikan Ara tahu, jika mata yang menatapnya terdapat jutaan luka karena kehilangannya.

Andaikan Ara tahu, jika sosok yang ada di hadapannya masih sangat menyayanginya bahkan setelah ia meninggalkan sosok itu tanpa alasan yang jelas.

“Nggak usah sok baik,” ketus Ara lalu merapikan buku-buku yang terjatuh di hadapannya.

“Gue bisa sendiri.” Ara kembali mengangkat buku-buku itu lalu berdiri dan bergegas pergi meninggalkan Ravin.

Sedangkan Ravin, kini menatap langkah gadis itu dari belakang hingga sosok itu tak dapat ia jangkau lagi di matanya.

Akhirnya Ravin memasuki kelasnya lalu duduk di sebelah Aron.

Entah mengapa seketika suara tawa gadis itu terlintas di benaknya. Memori-memori indah yang pernah mereka lalui bersama pun ikut memenuhi isi pikirannya.

Aron menyenggol bahu Ravin seraya tertawa. “Kenapa sih muka lo asem banget kayak ketek kuda?”

“Lagi berantem nih ceritanya sama bidadari tak bersayap lo itu?” tanya Aron meledek.

Ravin menggelengkan kepalanya lalu tertawa miris. “Enggak, gue nggak berantem.”

“Kalo lo nggak berantem, muka lo nggak mungkin kusut kayak gitu. Kalo lo lagi nggak beranten nih ya, pasti sekarang lo lagi senyum-senyum nggak jelas sendirian kayak orang gila.”

Ravin menghela napas berat.

“Gue emang nggak berantem, Ron.”

“Gue udahan sama Ara.”

Aron mengerutkan dahinya. “Putus? Kenapa?”

Ravin mengangkat kedua bahunya. Tak lama setelah itu Pak Diki, guru kimianya datang memasuki kelasnya. Sehingga menghentikan pembicaraannya dengan Aron.

Karena Ravin sendiri pun tak mengerti mengapa Ara meninggalkannya tiba-tiba dan tanpa alasan.

Jam istirahat rasanya sepuluh kali lebih ramai dibandingkan dengan biasanya. Ravin yang baru saja menyelesaikan pelajaran kimianya menatap bingung keramaian itu dari jendela kelasnya.

Hal itu membuat Ravin bergegas keluar dari kelasnya. Keramaian itu berasal dari panggung sekolah. Ia lupa jika hari ini Frappucino harus tampil di hadapan Pak Dhirga untuk mengisi pensi sekolah yang akan diadakan satu bulan lagi.

Kini Pak Dhirga berdiri di bawah panggung seraya menatap Frappucino yang kini tengah melakukan aksi panggungnya.

Semua berteriak dan bersorak gembira menyaksikan penampilan band papan atas itu secara langsung.

Ravin tersenyum menatap Ara yang kini tengah bernyanyi dengan sangat bahagia.

Bahagia terus ya, Ra. Jangan pernah sedih lagi. Gue sayang sama lo, batin Ravin seraya mengamati gadis itu dari jauh.

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang