Akankah, tinta yang menggores diatas kertas mampu merangkai aksara? Tanpa butuh rumah kembali berpulang, bisakah kau berikan aku waktu yang lebih banyak?
-Park Ana-
.
.
.Semilir angin menyibak helai rambut Ana yang sengaja ia gerai saat ini, matanya menengadah tatap cakrawala yang tengah mengapresiasikan suasana hatinya. Indah, mengapa ia tak bisa layaknya angkasa? Yang dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya.
Perlahan, kota besar yang padat penghuni kini tersapa oleh temaramnya langit. Siluet jingga yang sempat ia agungkan kini perlahan memudar bersamaan dengan kepakan sayap-sayap burung yang akan kembali pada sangkarnya. Di barat sana sudah menggelap terganti dengan warna ungu serta hitam yang bercampur biru gelap, puluhan bintang mulai menampakan diri serta bulan sabit yang juga tak ingin kalah memperlihatkan sinarnya.
Ana masih bergeming, tak ingin beranjak dari taman yang jauh dari keramaian. Suasana lenggang yang sering dikaitkan hal mistis adalah kenyamanan baginya, Ana tak pernah ingin tahu menahu bagi mereka yang sudah berbeda dimensi dengannya. Ana hanya ingin hidup tenang dan jauh dari keributan, nyatanya hidup bukan kita yang memilih. Meski nyatanya banyak pepatah mengatakan hidup adalah sebuah pilihan. Maka jika itu benar, Ana memilih tidak untuk hadir di dunia yang padat penghuni ini.
"Kenapa belum pulang?"
Ana tersentak, disampingnya ada lelaki Han yang kini juga duduk di ayunan tua bersamanya. Sejak kapan lelaki itu ada disini dengan kaos kebesaran juga celana pendek khas rumahan? Berbeda dengannya yang masih berbalut seragam dengan ponsel di paha yang sudah mati kehabisan daya.
"Menikmati senja." jawab Ana sekenanya. Namun, ada hal lain yang membuat Ana memilih tidak segera pulang pada persinggahannya.
"Aku juga habis menonton ekspresinya tadi. Sayangnya, aku tidak tahu kamu ada disini, kalau aku tahu kamu ada disini, aku segera kesini dan melihat ekspresi senja bersamamu." tutur Jisung yang lagi-lagi mengakhiri perkataannya dengan senyuman manis. Cepat-cepat Ana memalingkan wajahnya yang mulai timbul rona merah alami.
Apa yang salah dari senyuman Jisung sebenarnya? Batin Ana resah."Aku terbiasa sendiri, lebih baik tidak usah." Ana menjawab dengan tolakan yang cukup kasar sebenarnya. Namun, Jisung tertawa setelahnya dan kerutan lipat muncul didahi Ana.
"Aku tidak menawarkan diri untuk menemanimu, tapi aku hanya ingin berbagi pendapat tentang senja lain hari denganmu," ucap Jisung yang masih tertawa dan berhasil membuat Ana jengkel pada sikap Jisung.
"Tidak ada yang lucu, apa yang kau tertawakan?"
"Rona merah dipipimu." balas Jisung yang lagi-lagi membuat Ana semakin terasa panas menjalar ke telinga. Fakta yang Ana ketahui tentang Jisung setelahnya adalah Si Tukang Gombal. Gombal recehan yang nyatanya mampu membuat semu kemerahan tampak semakin timbul di area pipi Ana.
"Aku baru tahu kamu mudah tersipu hanya karena aku gombali, recehan sebenarnya. Tapi aku berani sumpah, kamu jauh lebih baik saat rona merah itu tampak dipipimu."
"Jisung!" Bentak Ana dan Jisung hanya tertawa memperlihatkan deretan giginya yang tidak rata, tapi justru itu pusat kemanisan dari tawa atau senyum yang ditampilkan.
"Oke-oke, maafkan aku. Jadi, kenapa kamu belum pulang? Kalau kata anak lelaki yang ingin modus selalu mengatakan, anak gadis tidak baik pulang malam-malam. Tapi kalau aku, aku bertanya. Ada apa gerangan wahai gadis cantik yang masih betah berkelana di taman lenggang seorang diri?" Tanya Jisung bernada di telinga Ana saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Art The Universe- Han Jisung ✔
Teen FictionTinggalkan satu kenangan tentang mu dan kita -Unknown- Han Jisung × Park Ana [OC] -XF13Park- Art The Universe.