He...

502 110 11
                                    

Jika, semua yang ada didunia sudah ditentukan oleh sesuatu yang mendasari sebelumnya, maka kalau aku boleh bertanya, dimana letak kebebasan Manusia?

.
.
.

Di hantui bayang rindu yang menyiksa, dalam sekon yang terus melangkah membubuhkan sang harapan. Maka, Ana menjadi satu-satunya manusia yang tengah mengembangkan senyum di pagi hari, dengan sahut nanyian hewan bersayap dari luar jendela apartemennya.

Sebuah koper sudah siap untuk ia gusur keluar, satu bulan libur ia dapatkan usai menyelesaikan ujian akhir semester untuk lanjut pada tingkat berikutnya. Alih-alih mencari kerja part time yang biasa ia lakukan, kali ini Ana gunakan untuk pulang.

Rumah yang menanti untuk ia genggam dua buah lengan yang semakin renta, ia tak bisa bohong kalau Ibunya adalah alasan ia pulang, dan seseorang yang melukis figur dirinya di atas kanvas putih beberapa tahun yang lalu.

Lelaki Han yang kembali hilang tak lagi ada kabar setelah hari itu.

Tepatnya setelah percakapan lewat sinyal usai tinggalkan beribu keanehan dalam sudut pandang Ana, percakapan yang berakhir tidak rampung beberapa bulan kebelakang.

Jemarinya meraba cat minyak yang sudah mengering dengan goresan penuh makna diatas kanvas, tidak ada hubungan spesial antara dirinya dengan lelaki bermarga Han terkecuali sepasang teman. Wajar kah jika ia teramat rindu pada temannya itu?

Atau memang ia yang berlebihan?

Karna bisa saja, Jisung lupa akan kawannya.

Ana sudah siap pada apapun yang terjadi, kalau setibanya disana tidak ada sambutan selain peluk rindu dari wanita yang sudah melahirkannya.

Lagi pula, Ana bukan siapa-siapa baginya.

Pesawat lepas landas, melewati cakrawala diantara putih-putih yang menyusuri ruasnya. Ana pejamkan dua matanya, berharap sesampainya nanti akan ada bahagia yang mulai menyapa.

Setidaknya, ia berharap hal itu terjadi.

Karna siapa tahu, Tuhan merencanakan hal baik baginya.

.
.

| Art The Universe |

.
.

Mungkin, tidak semua orang memiliki keluarga utuh, begitupun dengan Ana. Memang masa lawas tidak patut dikenang terlalu lama. Bagaimana figur yang paling bertanggung jawab, lepas akan tugas. Ana masih ingat detailnya, sesulit apapun untuk melupa tapi sang kisah tak berpihak pada keinginan yang ada.

Tidak lebih dan kurang, sepasang lengan kurus yang merengkuhnya terasa pas baginya. Dibalik kecupan dan tangis rindu, ada tawa yang menghiasi hari dimana kepulangannya tersambut dengan hangat. Ana senang, ini belum kelulusannya, dimana ia dapat membanggakan sang Ibu dan pulang kabar bahagia. Tapi, memiliki ibu yang bangga akan usahanya yang belum sekalipun usai tak luruh membuat Ana tersanjung.

"Mama bikin kue kering, kamar kamu sudah Mama rapihkan. Keperluan kamu selama sebulan, sudah Mama persiapkan. Jadi, gak perlu hawatir susah nyari apapun. Oke..." katanya menggebu-gebu, merasa bahwa kedatangan putrinya adalah momentum penting baginya. Ana tak kuasa untuk menitikkan bulir-bulirnya, tapi rasa saksi masih meliput dalam diri, layaknya seorang anak pada umumnya. 

Terlampau melibatkan gengsi, padahal sekon terus berjalan. Tak ada yang tahu dalam pelibatan penyesalan, dan saatnya tiba, maka sesal sudah ada di ujung tanduk.

Art The Universe- Han Jisung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang