Ada kata dalam kalimat dan Ada kesedihan dalam luka. Nyatanya, itu hanyalah bentuk dari gambaran kehidupan. Katanya hidup ini begitu rumit, maka jika boleh saya katakan, sesungguhnya manusia sendiri yang membuat itu rumit. Bukan hidup yang membuat segalanya rumit, tapi rumitnya mengucap rasa syukur atas keberkahan kecil yang luput tak diingat raga.
-Han Jisung-
.
.
.Angin menyibakan rambut mereka berdua, di padang hijau bukit ujung kota yang jauh dari keramaian. Siluet jingga muncul di cakrawala, memamerkan rona merah kekuningan seolah tengah dimabuk asmara. Berlapiskan atap sang langit dengan ubin rumput hijau, dua insan yang tengah bercengkrama mengantarkan sebuah pesan yang saling mendekap sebuah kenyamanan. Perlahan jingga kian memerah, lantaran sang mentari ingin kembali pada perapian, berganti tugas dengan temaram yang berisikan rembulan dan gemintang. Namun, celah bibir si pemuda Han masih setia mengucap, dan Ana yang setia mendengarkan ceritanya.
Jisung tidak pernah membayangkan hari ini akan terjadi, hari dimana sebuah kejadian yang membuat ia terluka menahan pedih membuat ia tak lagi bisa berkutik.
Di tangannya sudah terdapat nilai-nilai hasil akhir semester, dan ia berjanji pada sang Ibu untuk meraih nilai tertinggi di kelas. Namun, terpaksa lembaran kertas itu harus terjatuh disaat tubuhnya lemas kala kedua orang tuanya bertengkar hebat dengan keadaan rumah kacau balau.
"Kita berakhir, hak asuh Jisung jatuh ditanganku..." sang Ibu berucap final, masih tak menyadari kehadiran bocah kelas tiga sekolah dasar yang menatapnya dengan aliran bening tanpa suara. Dan bocah malang itu adalah Jisung.
"Bawa! Bawa anak itu sama kamu, merepotkan. Sekarang pergi dari rumah saya dan jangan pernah menginjakan kaki lagi disini. Selamanya!" Sang pria membentak.
Saat itulah, mata sembab sang Ibu bersiborok dengan mata Jisung yang berbinar air mata. Ada kepedihan dihatinya, sang Ibu berlari kecil dan mendekap putranya dengan erat. Membisikan kalimat penenang untuk Jisung yang padahal sang Ibu tak tenang sama sekali, Jisung pun tahu. Ia hanya terdiam kala sang Ibu mengajaknya pergi jauh tak tentu arah sebab tak memiliki uang untuk pergi mencari tempat berteduh.
Hingga pada akhirnya, Jisung dan Ibunya menempati sebuah kontrakan kecil. Tiada hal yang Jisung syukuri meski hanya diberikan rumah kecil yang jauh dari tempat singgah sebelumnya. Di umurnya yang masih belia, Jisung sudah paham apa arti perceraian. Meski hati kecilnya sakit, ingin beriak namun tak mampu, tapi Jisung mengerti kondisi Ibunya yang terlampau jauh lebih sakit.
"Maafin Mama ya, Jisung...." setiap malam, sang Ibu selalu datang ke kamarnya dan mengecup dahi Jisung mengantarkan rasa sayang teramat dalam. Mengucapkan kalimat Maaf yang sama setiap malam, Jisung tak ingin rapuh, Jisung berharap ia dapat menjadi penyangga sang Ibu dikala hatinya belum tersusun akibat Ayahnya yang rela melepaskan malaikatnya pergi.
'Laki-laki itu kekuatannya lebih besar dari seorang wanita. Jadi, Jisung harus bisa melindungi Mama. Oke jagoan kecil...?'
Tentu tersimpan rasa benci pada sang Ayah. Namun, tetap saja Ayahnya adalah sosok lelaki yang Jisung kagumi. Meski kenyataan kagum itu kandas ketika sang Ayah mencoret lukisan indah yang Tuhan ciptakan.
Hampir seluruh malam, Jisung habiskan waktu setengah malamnya untuk menulis rasa kekesalan hatinya, melukis sebuah kegundahan hati diatas kanvas putihnya. Meski ia tahu tulisan itu masih acak-acakan, dan lukisannya yang masih tak terarah. Suatu saat nanti Jisung dapat menyempurnakannya. Jisung yakin itu...
KAMU SEDANG MEMBACA
Art The Universe- Han Jisung ✔
Fiksi RemajaTinggalkan satu kenangan tentang mu dan kita -Unknown- Han Jisung × Park Ana [OC] -XF13Park- Art The Universe.